Analisa: Ada Udang Di Balik Ksatria Agung -->

Analisa: Ada Udang Di Balik Ksatria Agung

Redaksi TNCMedia

Gelar 'Kesatria Agung' didapatkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dari Ratu Elizabeth II saat Presiden dan rombongan berkunjung ke Inggris. Gelar 'Knight Grand Cross in the Order of the Bath' ini dulunya diberikan kepada tentara atau masyarakat sipil yang memiliki prestasi menonjol. Kata “Bath” berasal dari upacara mandi yang terinspirasi dari kegiatan pembaptisan untuk menyucikan diri sang kesatria. Namun, kini ritual mandi tidak lagi dilaksanakan.

Rasa bangga mungkin muncul di dalam diri sebagian orang yang melihat betapa Inggris sangat menghormati Indonesia. Saat kunjungan ke kerajaan Inggris, Inggris menyandingkan bendera Indonesia dengan bendera Inggris, lagu kebangsaan Indonesia pun dikumandangkan. Indonesia dijamu dengan sangat mewah di sana, Presiden dan rombongan disandingkan dengan orang-orang penting dalam pemerintahan Inggris. Haruskah kita juga ikut berbangga diri?



Disibukkan rasa bangga membuat sebagian orang lupa menganalisis apa yang sebenarnya diinginkan oleh pihak Inggris sehingga mereka memberikan gelar Kesatria Agung kepada Presiden SBY. Nyatanya, setelah pemberian gelar, banyak perjanjian antara Inggris dan Indonesia yang disepakati.


Salah satu perjanjian yang ramai dibicarakan oleh masyarakat yakni proyek pembangunan kilang LNG Tangguh kepada perusahaan Inggris, British Petroleum Plc. Perdana Menteri Inggris, David Cameron bergembira dengan ditandatanganinya proyek pembangunan LNG sebesar 12 miliar dolar di Indonesia (republika.co.id, 02 November 2012). Haruskah kita ikut berbahagia bersama sang PM Inggris?

Pertama, gelar 'Knight Grand Cross in the Order Bath' ini sangat kental dengan istilah dan ritual agama nasrani Cross yang berarti Salib, juga Bath yang terinspirasi dari ritual pembaptisan. Padahal, kita ketahui bersama bahwa agama Presiden kita itu adalah Islam, dan Islam melarang kita untuk menggunakan istilah yang masih berkaitan dengan agama lain selain Islam.

Apalagi dalam setelah pemberian gelar ini, Presiden SBY kini setara dengan orang-orang yang membela kepentingan Inggris, Ronald Reagan, Presiden Turki Abdullah Gül, Presiden Slovenia Dr. Danilo Türk, dan Presiden Afrika Selatan Jacob Zuma. Pemberian gelar ini tidaklah gratis, tantu akan meminta pembelaan sang Kesatria jika sang pemberi gelar sedang ditimpa masalah, bahkan jika harus mengorbankan penduduk negerinya sendiri.

Kedua, perjanjian kerja sama pembangunan kilang LNG Tangguh, harusnya membuat kita merasa kecewa. Kenapa? Karena saat pemerintah dengan senang hati memberikan kekayaan sumber daya alam yang sangat melimpah kepada asing, PLN yang mewakili Indonesia mengalami inefisiensi hingga puluhan trilyun lantaran tidak mendapatkan pasokan gas. Sudah terbuktilah bentuk pembelaan sang Kesatria kepada ratunya dengan diadakannya kerja sama pembangunan kilang LNG Tangguh ini.

Inilah yang terjadi jika sistem kapitalisme diterapkan. Dalam kapitalisme, pemerintah harus melepaskan sumber daya alam negeri untuk dikelola oleh pihak swasta, baik itu lokal maupun asing tanpa memperhatikan kondisi rakyat. Sehingga, tidak heran jika pemerintah sangat ringan untuk "menjual" semua sumber daya alam Indonesia walaupun PLN juga membutuhkan pasokan gas.

Sekulerisme yang merupakan turunan dari sistem Kapitalisme ini mengikis akidah umat muslim. Sehingga, muslim tidak merasa berdosa walaupun sudah melakukan pelanggaran terhadap hukum Allah. Gelar yang berbau agama nasrani pun dianggap biasa dan tidak jadi masalah dengan segala pembenarannya. Padahal, seharusnya pemerintah menanyakan dulu bagaimana Islam memandang pemberian gelar tersebut, sebelum berbangga diri menerima gelar 'Kesatria Agung'.

Semua kekacauan dan kebiasaan ini ditimbulkan oleh penerapan sistem Kapitalisme di dunia, termasuk Indonesia. Islam yang tidak hanya sebagai agama tetapi juga sebagai sistem kehidupan, mengatur kepemilikan menjadi kepemilikan umum, negara dan individu.

Sumber daya alam yang melimpah, seperti gas di Blok Tangguh termasuk ke dalam kepemilikan umum. Artinya, gas yang ada di Blok Tangguh merupakan milik rakyat yang harus dikelola oleh negara dan seluruh hasilnya diserahkan kepada rakyat.

Islam mengharamkan pemberian sumber daya alam kepada pihak swasta, baik lokal maupun asing. Islam sudah mengalokasikan hasil dari pengelolaan kekayaan sumber daya alam digunakan untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Sehingga kesejahteraan dalam pandangan Islam - tidak ada lagi yang berhak menerima zakat – pun bisa terwujud.

Kini, saatnya kita memperjuangkan penerapan Islam sebagai sistem kehidupan. Wallahu’alam bish shawab.


Fatimah Azzahra
Alumni Mahasiswi Jurusan Pendidikan Biologi UPI
dimuat di Republika Online
photo by republika.co.id