Mahmoud Darwish, Penyair Palestina Wafat di di Houston, Texas -->

Mahmoud Darwish, Penyair Palestina Wafat di di Houston, Texas

Redaksi TNCMedia

Mahmoud Darwish penyair Palestina terkenal itu telah wafat. Wafat di tanah dimana sebelumnya ia sempat berkata, "Andai kematian, tak mencabut nyawaku seperti pencuri, Tapi datang layaknya elang". Tapi tanah kelahirannya, Palestina tetap merupakana tempat ia bersemayam, ia dikebumikan di tanah kelahiran yang terpaksa ia tinggalkan bersama yang lain sejak ia masih berusia 7 tahun.

Mahmud Darwish, yang dianggap secara luas sebagai salah satu penyair terbesar Palestina, meninggal dunia, Sabtu (Minggu pagi WIB), di sebuah rumah sakit Amerika Serikat (AS) menyusul operasi jantung-terbuka, kata pejabat rumah sakit.

Darwish meninggal pukul 13.35 waktu setempat (Minggu pukul 1.35 WIB), Ann Brimberry, seorang juru bicara Memorial Hermann Hospital di Houston, Texas, tempat ia (Darwish) dirawat, mengatakan.



Penulis berusia 67 tahun itu dipasangi alat bantuan hidup dua hari lalu menyusul komplikasi yang meningkat akibat operasi, seorang teman mengatakan di Yerusalem sebelumnya, minta untuk tidak disebutkan namanya.

Darwish telah mempublikasikan lebih dari 24 buku syair dan prosa yang berakar pada pengalamannya sebagai pengasingan Palestina dan konflik sengit Timur Tengah, selama karir yang merentang hampir lima dasawarsa.

Dianggap secara luas sebagai salah satu penyair terbesar dunia Arab, Darwish menjadi pengecam keras Israel selama bertahun-tahun dan ditahan beberapa kali pada 1960-an sebelum pergi ke pengasingan atas kemauannya sendiri pada 1970.

Selama 25 tahun Darwish mengembara dari satu tempat ke temat yang lain, menghabiskan waktu di beberapa ibukota Arab dan dengan singkat tinggal di Moskow dan Paris.

Ia telah menerima sejumlah penghargaan kesusasteraan selama karirnya, termasuk Ibnu Sina Prize, Lenin Peace Prize, Lotus Prize 1969 dari Perhimpuan Penulis Afro-Asia, medali Knight of Arts dan Belles Lettres Perancis pada 1997, Penghargaan untuk Kebebasan Kebudayaan dari Yayasan Lannan 2001, dan Moroccan Wissam of intellectual merit yang diserahkan padanya oleh Raja Mohammad VI dari Maroko, menurut Akademi Penyair Amerika.

Darwish adalah nafas esensial rakyat Palestina, saksi pengungsian dan kepemilikannya yang fasih berbicara, penyair Naomi Shihab pernah mengatakan tentang dia.

Lahir pada 1941 di sebuah desa Arab di tempat yang sekarang adalah Israel utara, Darwish dan keluarganya diusir dalam perang 1948 yang diikuti dengan pembentukan negara Yahudi itu, meskipun mereka kembali ke Israel beberapa tahun kemudian.
Satu rangkaian prosa puitis yang ditulis mengenai pengalamannya tinggal di Beirut pada saat serangan Israel dan pembombardiran Libanon pada 1982 telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris pada 1995 dengan judul Memory for Forgetfulness.

Pada 1988 ia menulis pernyataan resmi kemerdekaan Palestina dan mengabdi di komite eksekutif Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) hingga 1993, ketika ia mundur sebagai protes atas perjanjian otonomi Oslo.

Ia tinggal di kota Ramallah di Tepi Barat sejak 1995.
Pada tahun 2000, satu usulan ketika itu oleh menteri pendidikan Israel Yossi Sarid untuk mengajarkan karya Darwish di sekolah umum telah memicu badai politik dan menyebabkan oposisi sayap-kanan untuk mendaftarkan mosi tidak percaya pada pemerintah.

Pada Juli 2007, Darwish mencela pengambilalihan berdarah Jalur Gaza oleh gerakan Islam Hamas satu bulan sebelum pembacaan puisi pertamanya di Israel sejak ia meninggalkan negara Yahudi itu 1970.

Kita berhasil, ia mengatakan dengan ejekan yang kental. Gaza memperoleh kemerdekaannya dari Tepi Barat. Satu rakyat sekarang memiliki dua negara, dua penjara yang tidak saling menyambut. Kita adalah korban yang mengenakan pakaian algojo.
Kita berhasil tahu bahwa pendudukanlah yang benar-benar menang.

Darwish sebelumnya menjalani operasi jantung pada 1984 dan 1998, dengan operasi yang kemudian mengilhami syair berikut: Saya telah mengalahkanmu, kematian/Semua seni yang indah telah mengalahkanmu/Nyanyian Mesopotamia, tugu Mesir, makam Firaun yang dipahat di altar telah mengalahkanmu, dan kamu adalah yang kalah.

Keberartian seorang Darwish bukan hanya karena ia seorang penyair ulung. Karena ada banyak penyair di dunia ini. Begitu pula dengan pengasingan, bukan juga faktor yang bisa mengkultuskan dirinya. Beberapa tahun lalu, dalam suatu wawancara, Darwish menuturkan, "Sewaktu masih muda dulu, saya berpikir tujuan puisi adalah mengubah dunia secara mendasar dan penyair yang baik adalah seorang yang mampu mengubah dunia. Saat usia saya bertambah, saya berkata penyair hanya bisa mengubah pembacanya. Kini saat saya ingin membaca puisi, saya menulis bahwa puisi hanya bisa mengubah sang penyair."

Sejatinya apa yang begitu membedakan Darwish dengan penyair-penyair besar lainnya adalah penegesannya pada masalah perubahan, terutama menyakut dirinya. Saat ditanyakan kepadanya, "Bumi begitu kelam gulita. Tapi mengapa syair-syairmu amat terang?" Ia menjawab, "Karena hatiku terkandung 30 lautan."

Mahmoud Darwish adalah penyair milik seluruh manusia. Seluruh sosoknya adalah Palestina. Suara seluruh orang-orang yang tertindas dan tak ada puisi cinta tragis buat mereka. Puisi layaknya senjata yang harus dipakai untuk berjuang mengangkat harkat manusia.

Di dunia kini, ada banyak pujangga besar, tapi hanya sedikit yang seperti Mahmoud Darwish. Bukan kalimat atau diam seribu bahasa yang bisa menyelematkan hingga seorang Darwish hidup kembali. Namun demikian, cita-citanya akan selalu hidup. Dan kita tak akan bisa lepas dari cita-citanya.

Darwish hidup dengan cita-citanya, dengan impiannya. Hidupnya yang telah berjalan 67 tahun, sejak awal ia mulai dengan semangat membara, cinta pada tanah air, berjuang melawan ketidakadilan, dan menyebarkan damai dan kasih sayang. Saat Darwish untuk pertama kalinya dijebloskan ke dalam penjara, umurnya tak lebih dari 14 tahun. Namun sejatinya sudah sejak lama ia mengenal kekerasan dan kebengisan. Ketika usianya baru menjelang 6 tahun, di tengah lorong-lorong kampung kelahirannya, di Barweh, tiba-tiba ia berhadapan dengan serbuan seradadu-serdadu rezim Zionis Israel. Dengan bengisnya, mereka menghancurkan dan membakar apapun di hadapannya. Hingga ayah dan ibu Darwish seperti ribuan rakyat Palestina lainnya terpaksa mengungsi dan hijrah ke Lebanon.

Pada usia 19 tahun, untuk pertama kalinya Mahmoud Darwish menerbitkan buku kumpulan puisinya berjudul "Burung-Burung Pipit Tanpa Sayap". Dalam karyanya ini, dengan emosi kepeyairannnya Darwish menggambarkan ketertindasan bangsa Palestina. Langkahnya itu, memberikan warna baru bagi dunia puisi Arab. Karya kedua Darwish, ia beri judul "Dedaunan Zaitun". Lewat karyanya ini, nama Darwish pun mulai terdengar luas di kalangan para penyair Palestina dan dunia Arab.

Dengan dirilisnya puisi Darwish bertajuk "Kartu Pengenal", menjadikan dirinya sebagai wakil utama puisi perlawanan Palestina. Dalam puisinya ini, dengan nada penuh kritikan pedas, ia berbicara pada seorang perwira Israel:

Camkan

Akulah orang arab

Dengan nomor KTP 50000

Aku seorang Arab

Sebuah nama tanpa gelar

Tinggal di sebuah negeri

Dan apa pun di sana adalah ledakan murka

Leluhurku

Telah ada sebelum lahirnya zaman

Dan sebelum munculnya masa

Sebelum pinus dan zaitun

Sebelum tumbuhnya padang rumput

Kau curi ladang bapaku

Dan tanah tempat kami bercocok tanam

Aku dan seluruh anak-anakku

Dan untukku dan cucu-cucuku

Tak satupun yang kau sisakan

Kecuali batu-batu

Akankah penguasa kalian merebutnya juga dari kami?


Mamoud Darwish dijebloskan berkali-kali ke dalam penjara karena menerbitkan karya-karya puisinya seperti "Protes" dan "Ibu". Dalam puisi "Ibu", ia menceritakan keluh kesah seorang tahanan Palestina yang mengkhawatirkan roti dan kopi ibunya. Puisi ini benar-benar menggunggah jiwa rakyat Palestina dan memposisikannya sebagai penyair yang menyuarakan ketertindasan dan penderitaan rakyat Palestina kepada dunia.

Selama enam tahun masa pengasingannya di Paris (1991-1996), ia memulai aktifitas internasionalnya di bidang penerbitan sastra Arab di negara-negara Barat. Ketika ia menjabat sebagai pemimpin himpunan para penulis Palestina, Ia menerbitkan sebuah jurnal sastra Arab terkemuka, "Al-Karmel". Bersama dengan Jacques Derrida dan Pierre Bordeaux, Darwish mendirikan Parlemen Internasional Penulis.

Mengomentari tentang sosok Mahmoud Darwish, Ahmad Fuad, penyair asal Mesir menyatakan bahwa Darwish adalah seorang penerjemah ajaib penderitaan rakyat Palestina. Seorang yang membuat kita menangis, kadang membuat kita tertawa dan perasaan kita tersentuh. Penderitaan rakyat Palestina yang tertuang dalam puisi-puisi Darwish bukan mitos tapi cerita nyata tentang daging, darah dan perasaan bangsa ini.

Mahmoud Darwish meninggalkan sekitar 40 antologi puisi dan 8 antologi prosa. Kata-katanya telah menarik kepedulian jutaan manusia di dunia terhadap masalah bangsa Palestina. Karya-karya sastranya itu telah diterjemahkan ke dalam 20 bahasa dan banyak mendapat penghargaan. Pada tahun 1969, Darwish memperoleh penghargaan Lotus dari persatuan penulis Afro-Asia. Selain itu, ia juga memperloh penggargaan damai Lenin dari Uni Soviet pada tahun 1983. 10 tahun kemudian ia juga mendapat tanda penghargaan tertinggi Perancis di bidang sastra dan seni. Dan akhirnya pada tahun 2007, ia mendapat penghargaan khusus di Festival Puisi Dunia Struga.


Mereka ingin melihatku mati

Lantas berkata dia milik kami, dari kami.

20 tahun suara jejak-jejak mereka

ku dengar di antara tembok-tembok malam

Mereka tak membuka pintu

Sekarang pun masih di sini

Aku lihat tiga orang dari mereka

Seorang penyair, pembunuh, dan pembaca buku

Kapan kalian ingin menembakku?

Tanyaku

Jangan ambil susah jawaban mereka!

Bumi begitu kelam gulita,

Tapi mengapa puisi-puisimu amat terang?

Karena hatiku terkandung 30 lautan

Tuturku

Camkan waktumu!

Aku ingin kalian bunuh aku perlahan-lahan

Hingga kubisa menulis puisi terakhirku untuk sahabat

Mereka tertawa

hanya serangkai kalimat diambilnya dariku

Serangkai kalimat yang kupersembahkan untuk sahabat


sumber :(afp/ant/pelita.or.id/ indonesian.irib.ir/oce)