Fadli Zon Ingatkan Nadiem: Arah Pendidikan Bukan Eksperimen dan Spekulasi



Thread: Fadli Zon

PENDIDIKAN adalah pilar kebangsaan. Salah satu cara menaklukan sebuah bangsa adalah menguasai pendidikannya. Begitu juga pendidikan adalah sarana mencerahkan dan menyadarkan sebuah bangsa untuk bangkit dan merdeka.

Jika kita ingat, dulu para pendiri bangsa, mulai dari generasi Tan Malaka, Ki Hadjar Dewantara, hingga generasi Soekarno, Hatta dan Sjahrir, juga memulai perjuangannya melalui lembaga pendidikan.

Itu sebabnya, pendidikan harus diposisikan sebagai sektor vital dan strategis. Apalagi jika pembangunan sumber daya manusia (SDM) mau diprioritaskan.

Dengan latar belakang itu, saya bisa memahami kenapa penunjukkan Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan masih diwarnai tanda tanya hingga hari ini. Sebagai urusan vital, sangat pantas jika publik berharap bidang ini dipimpin oleh orang-orang tepat dan mumpuni.

Masalahnya, Menteri Nadiem dianggap tak punya jejak di bidang pendidikan. Ia bukan berasal dari profesi pendidik, dan meskipun ia sukses di bidang lain, namun profesinya tak berkaitan langsung dengan bidang pendidikan.

Selama ini Pemerintah memang cenderung menjadikan pendidikan sebagai arena uji coba kebijakan, padahal semuanya dilakukan hampir tanpa kajian mendalam. Akibatnya, bongkar pasang kebijakan kerap terjadi.

Dulu, pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, nama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pernah diubah menjadi Departemen Pendidikan Nasional, di mana nomenklatur kebudayaan dihilangkan. Sebagai gantinya, urusan kebudayaan kemudian dimasukkan ke Departemen Pariwisata.

Dikeluarkannya nomenklatur kebudayaan dari kementerian pendidikan secara konseptual jelas keliru. Sebab, secara filosofis, pendidikan adalah bagian konstitutif, jika bukannya integratif, dari kebudayaan.

Pendidikan merupakan instrumen untuk mewariskan, memelihara, dan mengembangkan kebudayaan.

Meskipun pada zaman sekarang isi kebudayaan semakin banyak yang berasal dari sumbangan ilmu pengetahuan, namun ilmu pengetahuan tadi bukanlah kebudayaan itu sendiri, melainkan sekadar produk saja dari kebudayaan yang menjadi induknya.

Kekeliruan konseptual tersebut baru dikoreksi pada periode kedua pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), urusan kebudayaan dan pendidikan akhirnya kembali dipersatukan di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Uji coba tanpa konsep mendalam semacam itu juga dilakukan oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo lima tahun lalu.

Meski diprotes banyak ahli, Presiden waktu itu telah memecah kementerian pendidikan menjadi dua, yaitu yang khusus mengurusi pendidikan dasar dan menengah, serta kementerian yang khusus menangani pendidikan tinggi.

Pemisahan tersebut telah membuat kebijakan pendidikan kita jadi kian terpecah di banyak sekali lembaga. Sebelum adanya pemisahan itupun, manajemen pendidikan kita sudah tersebar di banyak sekali lembaga.

Kementerian Agama, misalnya, sejak lama membawahi sekolah dan perguruan tinggi keagamaan. Begitu juga kementerian lainnya, seperti Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, dan sejumlah lembaga lain, yang masing-masing mengelola sejumlah lembaga pendidikan di bawahnya.

Bisa dibayangkan, sesudah dipecahnya pendidikan tinggi menjadi kementerian sendiri, betapa banyaknya dapur kebijakan pendidikan di negeri kita. Sekali lagi, perubahan-perubahan itu dilakukan hampir tanpa kajian apapun.

Sepertinya semua itu hanya dilakukan dengan prinsip asal beda saja. Terbukti, sesudah lima tahun berjalan, kebijakan itu akhirnya dikoreksi sendiri oleh pemerintahan yang sama.

Dalam Kabinet Indonesia Maju, kita lihat, urusan pendidikan tinggi akhirnya dimasukkan kembali ke Kemdikbud. Kebijakan asal beda yang miskin kajian semacam itu sebaiknya tidak terjadi lagi di masa kini.

Pendidikan kita butuh konsep dan pemikiran yang matang, bukan eksperimen-eksperimen spekulatif. 

Kita berharap, penunjukkan  Nadiem sebagai Mendikbud bukanlah bagian dari prinsip coba-coba asal beda atau ganti menteri ganti kebijakan.

Saya pribadi, meski masih bertanya-tanya, sangat berharap Menteri Nadiem bisa segera memahami masalah yang dihadapi kementeriannya. 

Apalagi, ia mengaku akan mendengarkan terlebih dahulu para ahli pendidikan dan juga bawahan di kementeriannya sebelum mengambil kebijakan strategis di bidang pendidikan. 

Pernyataan itu saya kira patut diapresiasi. Sebagai wakil generasi milenial, kita mungkin perlu memberinya kesempatan.

Saya kira, ada dua tantangan besar yang harus segera dipikirkan oleh Menteri Nadiem. Pertama, adalah soal konsep arah pendidikan nasional. Dan kedua, soal birokrasi. Terkait dengan konsep arah pendidikan nasional, kita sekarang hidup di tengah perubahan yang berlangsung cepat. 

Di tengah situasi tersebut, kita dituntut lebih adaptif dan dinamis, begitu juga dengan kebijakan pendidikan kita, kurikulum, dan perangkat pendidikan lainnya. Semuanya harus bersifat adaptif dan dinamis. 

Selama ini, dunia pendidikan kita jauh dari adaptif dan dinamis. Lihat saja jurusan-jurusan dan kurikulum pendidikan kita. Nomenklaturnya tidak pernah berubah.

Di perguruan tinggi, misalnya, 90 persen Satuan Kredit Semester (SKS) isinya adalah mata-mata kuliah wajib yang materinya mungkin tak banyak berubah dengan materi dua atau tiga puluh tahun lalu.

Jumlah mata kuliah pilihan sangat sedikit sekali. Padahal, pada mata kuliah-mata kuliah pilihan ini kita punya kesempatan besar untuk mengadaptasi perkembangan serta perubahan baru yang terjadi di sekitar kita.

Pada pendidikan dasar dan menengah, saya menilai jumlah mata pelajaran di sekolah kita terlalu banyak, sehingga akhirnya tidak terjadi pendalaman materi, baik di kalangan siswa maupun guru.

Semuanya jadi terjebak pada jam pelajaran panjang. Kalau kita belakangan mengeluhkan minimnya pendidikan karakter, menurut saya itu terjadi karena waktu anak-anak kita banyak tersita di sekolah.

Pendidikan karakter itu adanya di lingkungan keluarga n lingkungan sosial, bukan di buku pelajaran. Kalau anak-anak waktunya habis di sekolah, kapan mereka bisa menyerap nilai-nilai pendidikan lain yang hanya bisa disampaikan lewat institusi keluarga atau institusi sosial lainnya?

Kita butuh konsep yang matang terkait arah pendidikan nasional ini. Tapi, konsep yang baik dan hebat saja tidak cukup, jika tidak didukung oleh infrastruktur birokrasi yang kompatibel. Dua-duanya sama-sama harus diperhatikan oleh Menteri Nadiem. 

Namun, jika harus memilih, saya sendiri cenderung lebih memprioritaskan reformasi birokrasi daripada mengejar konsep yang canggih-canggih. Sebab, sehebat apapun menterinya, jika birokrasi di bawahnya memble, pendidikan kita tak akan banyak bergeser.

Sebaliknya, jika birokrasinya efisien, efektif dan adaptif, maka seburuk apapun menterinya, pendidikan kita akan tetap berlayar ke arah yang benar. 

Sekali lagi, saya ingin mengingatkan Pemerintah, khususnya Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, bahwa pendidikan bukanlah tempat berjudi dan berspekulasi. (*)
TNCMedia

Dukung editor dan penulis situsweb ini via Bank Rakyat Indonesia (BRI) No Rek: 701001002365501 atau ke BRI No Rek: - 109801026985507 Kontak: 082113030454

Lebih baru Lebih lama