Indra J Piliang: Stafsus, Birokrasi dan Rezim Kapitalis


Oleh: Indra J Piliang*   

Dalam waktu seminggu, dua orang staf khusus Presiden Joko Widodo mengundurkan diri. Andi Taufan Garuda Putra, 33 tahun, dan Adamas Belva Syah Devara, hampir 30 tahun. Keduanya berada dalam arus perbincangan publik terkait abuse of power atau penyalahgunaan kekuasaan. Walau, kadar atau tingkatan abuse of power itu sendiri masih dalam kontroversi. Pengunduran diri keduanya tentu berada pada bingkai code of conduct alias etik sebagai bagian dari pejabat publik.

Dua pelajaran penting langsung terhidang.

Pertama, betapa mudahnya seseorang terjebak dalam labirin kekuasaan yang sumir, lalu tak bisa dinilai sebagai pelanggaran jabatan atau etika semata. Padahal, keduanya memiliki riwayat yang aduhai dibandingkan dengan generasi seusia. Mereka menempuh pendidikan tinggi di luar negeri, pun mapan secara individual. Prestasi mereka tentu tak biasa. Bisa dikatakan, mereka adalah primus interpares yang masuk kategori creative minority yang mampu mengubah zaman.

Kedua, proses pengunduran diri keduanya adalah sesuatu yang langka terjadi. Pejabat publik lain yang malang-melintang-serang-terjang dalam bingkai birokrasi tak semudah itu. Dari sisi kontroversi, barangkali sederet nama bisa disebut, baik dalam pemerintahan sekarang atau masa lalu. Hanya saja, sedikit yang punya keberanian lebih sebagaimana dimiliki Taufan dan Belva. Orang-orang seperti itu lebih baik buying the time, menghilang di dalam kerumunan, lalu suatu saat muncul lagi ketika publik sudah melupakan dan memaafkan.

Dari sisi penyelenggaraan pemerintahan, keduanya sebetulnya berada dalam proyek percepatan regenerasi kepemimpinan politik dalam artian luas. Pejabat publik bagaimanapun dalam pengertian dasar adalah politisi. Mereka yang bersinggungan dengan kepentingan publik, bukan kepentingan pribadi, kelompok, atau golongan. Politisi yang bahkan bukan melayani kepentingan mereka sendiri. Mereka yang menjadi pelayan publik, bukan publik yang menjadi pelayan. Sebagai wajah millenials dalam tubuh pemerintahan, apalagi dalam etalase paling puncak yakni Istana Negara, mereka lebih dipersiapkan untuk masa depan setelah periode pemerintahan berakhir.

Masalahnya, mereka sama sekali tak melewati proses yang “berdarah” yang ditempa dalam kawah candradimuka yang sesuai. Dalam masa Orde Baru, kawah-kawah itu antara lain Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI). Tak mudah bagi siapapun untuk muncul dalam etalase kepemimpinan, bahkan sebagai anggota parlemen daerah, apabila belum mendapatkan sertifikat kelulusan sejumlah materi atau training yang dijejali silabus-silabus pemerintahan. 

Nama keduanya barangkali juga sulit ditemukan dalam kepengurusan organisasi siswa atau mahasiswa, apakah Organisasi Siswa Intra Sekolah atau Badan Eksekutif Mahasiswa, hingga Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) di luar negeri. Mereka sekolah, mereka kuliah, mereka belajar, pun barangkali sudah tertarik ke dalam dunia profesional yang berorientasi kapital. Ketika kaum aktivis mahasiswa menghabiskan waktu banyak di meja-meja diskusi, debat, rapat, orasi, mereka memilih untuk menyelesaikan kuliah dengan cepat, sembari mengisi waktu luang dengan kerja-kerja individual yang berdampak kepada pencapaian kompetensi pribadi.

Bagi yang menempuh kehidupan sebagai aktivis yang bersinggungan dengan penyelenggara pemerintahan, sebagai junior, tentu memahami mana yang pribadi, mana yang publik. Mana kertas surat yang  bisa dipakai atas nama organisasi, dalam posisi sebagai apa, mana yang kartu nama pribadi dengan keahlian apa. Para birokrat, teknokrat, hingga teknolog tentu paham, pernyataan apa yang bisa disebut sebagai pendapat pribadi, lalu mana yang masuk kategori jabatan yang terikat dengan pelbagai regulasi. Seseorang yang berpakaian bebas, tentu berbeda dengan yang menggunakan seragam. Warna pin yang dipakai ketika masuk Istana Negara saja berbeda, sehingga secret service(Paspampres) tak perlu bertanya lagi.

Kedangkalan atau kehampaan pengetahuan kedua staf khusus ini atas mata rantai birokrasi yang rumit bisa jadi bukan fenomena yang bersifat kasuistik. Jangan-jangan bagai fenomena gunung es, alias besar sekali komunitas yang tak menyadarinya. Mana yang wilayah partai politik, mana yang bukan. Mana yang melekat sesuai dengan jabatan, mana yang dua puluh empat jam sebagai warganegara biasa. Mana yang keluarga, mana yang kekeluargaan. Lampu mana yang bisa dinyalakan untuk urusan kenegaraan, lampu mana yang wajib dimatikan untuk bicara urusan pribadi. Mana bensin yang disubsidi uang rakyat, mana yang dibeli sendiri dan silakan gunakan seenak perut.

Padahal, tidak mudah untuk menerima kehadiran staf khusus dalam birokrasi Indonesia. Setahu penulis, “perjuangan” itu membutuhkan waktu lama. Rezim anggaran di Lapangan Banteng sulit sekali menerima kehadiran sumberdaya manusia yang abu-abu ini. Anggota parlemen daerah hingga kini tak memiliki tim ahli yang juga bisa masuk kategori staf khusus. Para komisaris Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah juga bisa masuk kategori itu. Kehadiran mereka sebagai wakil “publik” sama sekali bukan lewat proses uji kompetensi yang transparan dari sisi publik. Satu-satunya yang dibuka dalam panitia seleksi adalah kolom masukan publik dengan mencantumkan email atau nomor  atau alamat khusus. Seberapa banyak publik yang tahu, seberapa luas informasi yang disebarkan, bukan ukuran.

Tentu bukan salah bunda mengandung. Birokrasi tetaplah ibu kandung dari penyelenggaraan negara. Belanda dan negara-negara Skandinavia, masih yang terdepan dalam persoalan ini. Birokrasi yang berusia ratusan tahun, sistem administrasi yang kokoh, kearsipan yang benar-benar dijaga dengan sepenuh jiwa pengabdian. Negara-negara yang sebetulnya berbentuk kerajaan, lalu menempelkan demokrasi lewat sistem parlementer. Namun terdapat Aparatur Sipil Negara yang memiliki sumpah yang mendekati teologi. Mereka bahkan disumpah untuk tak berbicara tentang jabatan mereka, bahkan setelah dinyatakan pensiun. Mereka yang membuka dan menutup pintu-pintu negara yang serba rahasia, guna kepentingan negara itu sendiri.

Tak perlu berandai, kalau tiba-tiba ada saja pihak lain yang bisa memasuki pintu-pintu staf khusus itu yang bekerja bukan untuk kepentingan negara sendiri. Mereka bisa saja menyolong informasi dan dokumen tertentu, guna diberikan kepada agen-agen telik sandi dalam era-era Perang Dingin dan James Bond 007 yang sudah lama selesai. Atau guna kepentingan korporatisasi yang memicu korporatisme negara. Negara yang tak lagi publik, namun sudah berubah menjadi swasta. Negara yang tak bergerak guna tujuan-tujuan umum, tapi diselewengkan bagi kepentingan kapital. Bisa dibayangkan nilai fiksinya, apabila agen-agen seperti itulah yang berada di dalam otaknya negara, yakni Istana Negara sendiri.

Yoshihara Kunio pernah menulis buku berjudul “Kapitalisme Semu Asia Tenggara”. Kata pengantar ditulis oleh Arief Budiman, sosiolog paling berpengaruh ke kalangan aktivis 1980an – 1990an. Arief pun sudah “mengundurkan diri” dari kehidupan, hampir bersamaan dengan pengunduran diri kedua staf khusus Presiden Joko Widodo itu. Kunio menengarai bahwa rezim-rezim penguasa di Asia Tenggara sebetulnya adalah rezim-rezim kapitalis, agen-agen kapitalis, namun dalam bentuk yang masih semu. Mau rezim-rezim itu dianggap proto demokratis atau bahkan junta sekalipun.

Pertanyaannya, ketika dua stafsus itu mengundurkan diri, tatkala Arief Budiman-pun sudah menutup mata selamanya, apakah kapitalisme itu masih semu, sudah pudar, atau sedang berkecambah di Indonesia? Untuk tingkatan negara Asia Tenggara lain, Mohamad Najib Tun Abdul Razak, Perdana Menteri Malaysia yang digantikan Mahathir Mohamad, jelas terjebak dalam “drama kapitalisme” yang tak semu. Atau, jangan-jangan Taufan dan Belva adalah bunyi peluit terakhir yang segera hilang, digantikan dengan wajah-wajah yang lebih nasionalistik yang terbuhul dalam biografi sejumlah sosok yang pernah berada di gedung itu.

*Ketua Umum Perhimpunan Sang Gerilyawan Nusantara



              


TNCMedia

Dukung editor dan penulis via Bank Rakyat Indonesia (BRI) No Rek: 701001002365501 atau BRI No Rek: - 109801026985507

Lebih baru Lebih lama