Argo Kamera -->

Argo Kamera

Redaksi TNCMedia



Oleh: All Amin

Di situ serba antre. Semua tertib. Taksi antre. Calon penumpang pun antre.

Saya ada di baris ketiga. Taksi yang di posisi ketiga itu, kurang bagus. Taksi tipe reguler dan mobilnya tidak baru. Mirip dengan yang ditempeli stiker 'tarif bawah' di Jakarta.

Pas mau naik. Tampak di tangan sopirnya banyak tato. Berasa agak enggan. Tapi, rapopolah. Naik saja, toh jaraknya dekat. Paling 5 menit.

Memutari Marina Bay Sands. Melewati patung singa muntah. 3 lampu merah; sampai. 

Sebelumnya, saya ada pengalaman dengan orang bertato. Sudah lama. Namun, masih berkesan.

Dulu, saya pernah digebukin jagoan bertato. Preman pasar. Sampai babak belur. Gara-gara ia tersinggung. Ketika naik angkot, ongkosnya saya minta. Enaknya, setelah dipukuli, saya yang harus minta maaf. Memohon. Sebab dianggap tidak sopan, kepada preman besar itu.

Begitulah hukum di dunia perpremanan. Kalau mau aman, jangan coba-coba lawan kepala premannya. Ketika ia malak, segera kasih. Melawan; bisa tinggal nama. Sepertiga hukum rimba. Ngeri-ngeri sedap ada di situ.

Dan, yang marah kalau dimintain ongkos angkot, bukan cuma preman-preman itu. Yang berseragam juga. Saya takut menyebutkan warna seragamnya. Nanti dipukuli lagi.

Kalau yang berseragam itu menggebuk, rasanya lebih nyeri. Mungkin karena terlatih. Mereka tahu titik-titik yang mematikan.

Jadi, dulu itu. Saat jadi kernet. Melihat orang bertato. Atau yang berambut cepak. Kalau naik angkot. Kemungkinan besar itu; balak eseh. Alias; penumpang gratisan. Jengkel sih. Tapi, hanya berani ngedumel dalam hati.

Bagian-bagian seru itu tak pernah saya ceritakan pada orang tua. Karena 2 alasan;

Pertama; takut tak dibolehin lagi jadi kernet. Kalau saya berhenti. Bisa tak ada uang jajan ke sekolah. Nanti tak mampu lagi beli; Lucky Strike.

Kedua; takut disuruh ikut latihan silat. 
Belajar jurus-jurusnya sih; oke. Beratnya itu; harus menghafalkan mantra-mantra. Dan, ujian akhirnya. Mantra itu mesti dibaca. Sendirian tengah malam. Di dalam pondok. Di tengah sawah. Gelap. Lalu, duduk membelakangi pintu yang terbuka. "Ogah, ah! Saya kan takut hantu, Guru!".

Sejak tinggal di Bali. Saya mulai punya pandangan lain pada orang bertato. Di Pulau Dewata itu, tato identik dengan seniman. Bukan preman. Kawan-kawan saya di Bali banyak yang bertato. Semuanya baik-baik.

Kembali ke sopir taksi singaporean tadi. Tampaknya ia pun baik. 

Sampai di tujuan. Saya lihat argonya murah; tak sampai 50 ribu. Kalau dirupiahkan. Mungkin istilah argo kuda tak sampai ke situ.

Sebelum turun, saya tawarkan padanya agar lanjut mengantarkan kami ke bandara. Tapi, menunggu sebentar, saya mengambil barang yang dititip di hotel. 

Sopir bertato itu mau. Raut wajahnya senang.

Katanya; "Bayarnya nanti saja sekalian." 

Di jalan ke bandara kami ngobrol. Tepatnya, ia yang lebih banyak bercerita. Bersemangat. Saya jadi pendengar saja. Aksen singlish-nya renyah di kuping. Itu, bukan karena saya pendiam. Tapi, saya biasanya --eh, bisanya-- ngobrol pakai bahasa Indonesia. Ia tak paham.

Tiba di bandara. Kami berpisah.

Nah, bagian mendebarkannya, mulai setelah sekitar hampir satu jam-an kami di bandara. 

Tiba-tiba. Kok, tas-nya kurang satu? Tas kamera hilang. Aduh!

Tinggal di taksi tadi. Ditarok di belakang. Lupa diturunkan. Terbayang, seperangkat kamera. Komplit. Beserta kenangan di dalamnya; lenyap.

Qadarullah. Sebelum berpisah tadi, sopir bertato itu meninggalkan kartu nama.

Saya coba hubungi; bisa. 

Saya katakan kalau ketinggalan tas di mobilnya. Di belakang, dekat kaki. Dengan bahasa Inggris alakadarnya. Blepotan. Campur aduk, antara tak fasih dan deg-degan.

Alhamdulillah, dia mengerti juga.

Dan, responnya; luar biasa.

"Yes. Tas kamu ada di sini. Saya sedang di..." Ia sebutkan lokasi. Saya tahu di mana itu. Ia lanjutkan "Saya jalan ke airport sekarang. Sekitar 17 menit sampai. Kamu tunggu di luar. Argo saya sampai ke situ 20 dolar. Siapkan uang pas."

Senang sekali. Saya siapkan 100 dolar. Sekalian untuk hadiah. Sangat pantas. Nilai tas itu lebih sepuluh kali lipatnya.

Benar. 15 menit sopir bertato itu tiba. Ia serahkan tas saya. Sambil berujar; "You lucky Indonesian man! Sudah dua kali penumpang lain, naik sesudah kamu. Dan, saya tak tahu ada tas di belakang." 

Saya ucapkan terima kasih. Saya salami erat tangannya yang bertato itu.

Dan, menyerahkan pecahan 100 dolar. 

Ia menolak. Benar-benar tidak mau menerima. Katanya; "Bayar sesuai argo saja."

Argonya; 20 sing dolar. 200 ribu rupiah. Untuk tas senilai hampir 20 juta. Sopir bertato itu sama sekali tak mau dikasih lebih.

Alhamdulillah. Masya Allah. "Maaf, telah berburuk sangka." sopir bertato.

Dan, kepada; Pak Preman yang Jagoan Menyundul Langit, "Saya kembali memohon maaf. Telah turut diceritakan. Semoga Antum sehat selalu." (*)