Sex, Lies and Keraton -->

Sex, Lies and Keraton

Redaksi TNCMedia


Pada awalnya ketika orang Belanda datang ke Hindia Belanda, sebagian besar adalah rombongan laki-laki tanpa diikuti oleh para wanitanya. Kalaupun ada wanita, itu terbatas pada istri pejabat tingginya yang biasanya berdiam di Batavia atau di Buitenzorg (Bogor).


Para wanita Belanda dianggap boros, banyak menuntut barang mewah dari Eropa dan karena tidak tahan dengan iklim tropis cenderung meminta pulang setelah beberapa waktu di Hindia Belanda. Semua itu dianggap pemborosan biaya, sehingga VOC melarang imigrasi wanita terkecuali istri pejabat tingginya.

Para pria Belanda oleh VOC didorong untuk mencari pasangan wanita pribumi guna menyalurkan hasratnya. Beberapa pria Belanda kemudian melakukan praktik pergundikan, yaitu "memperistri" satu atau beberapa wanita pribumi. Gundik atau selir dipergunakan sebagai istilah untuk istri yang berasal dari derajat sosial lebih rendah.
Di lingkungan Keraton Jogja, luapan hasrat para pria Belanda ini sering berujung kepada skandal dan desas desus. Juru bahasa karesidenan, J.G Dietree, disebut sebut menjalin hubungan gelap dengan berbagai perempuan kelas atas di keraton. Salah seorang di antaranya adalah dengan putri Hamengkubuwono II dari selir, yang bernama Raden Ayu Wiryowinoto.
Asisten Residen Jogja, P.F.H Chevalier, juga sibuk dengan putri- putri keraton dan istri para ningrat Jawa. Chevalier bahkan dikabarkan sempat selingkuh selama beberapa bulan dengan salah seorang selir Pangeran Diponegoro.

Residen Jogja sendiri, Smissert, disebutkan "ketika berkunjung ke keraton selalu meminta ditemani Raden Ayu Gondoresmi dan seorang Raden Ayu istri Pangeran Adiwinata". Termasuk juga dalam lingkaran desas desus perselingkuhan di keraton adalah putri-putri Pangeran Mangkukusumo (Putera Hamengkubuwono I), istri Tumenggung Danuatmojo, dan Raden Ayu Mertonegoro (puteri Hamengkubuwono II).

Bagaimana konyolnya masalah hasrat ini sampai-sampai Sultan Hamengkubuwono V mengeluh (1846) bahwa Residen Jogja F.G Valck memaksanya menceraikan selirnya, hanya untuk kemudian dijadikan simpanan Residen Valck sendiri.
Pangeran Diponegoro sendiri pernah tersipu malu ketika memergoki (1821) Residen Belanda Nahuys berciuman mesra dengan istri Asisten Residennya sendiri R.C.N d'Abo. Pangeran terheran-heran bagaimana dua pria Belanda bisa berbagi seorang wanita dalam satu hunian karesidenan. Tindakan amoral pejabat Belanda itu dan kemerosotan moral di lingkungan Keraton Jogja ini, bersama dengan alasan lainnya, kelak menjadi salah satu alasan Pangeran Diponegoro memberontak.
Sedemikian parahnya perilaku pejabat Belanda sehingga ahli hukum Willem van Hogendorp sempat mengecam Belanda yang dianggapnya mengubah Keraton Jogja layaknya "rumah bordil".
Namun kelakuan amburadul ini juga tidak terbatas pada orang Belanda. Patih Danurejo oleh Van Nes disebut "terkadang membawa perempuan keraton ke desa untuk dicemari". Pangeran Adiwinata (putera Sultan Hamengkubuwono II) sendiri disebutkan memiliki hubungan khusus dengan ibu tirinya, Ratu Mas.
Para wanita Eropa baru banyak berdatangan sejak 1869, yaitu ketika peraturan larangan imigrasi wanita Eropa dicabut. Dengan datangnya lebih banyak wanita Eropa ke Hindia Belanda, skandal hubungan terlarang Belanda-Kraton menjadi tidak terdengar kembali.
Catatan:

Foto Ilustrasi : Eva Ment, istri Jan Pieterszoon Coen, salah sedikit dari wanita Eropa yang tinggal di Hindia Belanda.

Artikel ini hanya sekelumit cerita dari buku Kuasa Ramalan (Diponegoro) oleh Peter Carey dan buku "Keraton dan Kumpeni" oleh Vincentius Johannes Hubertus Houben.


Sumber: