MrJazsohanisharma

Jakarta 30 September




Oleh Junaidi Gaffar
~Pemerhati Sosial Politik

JAKARTA tidak sedang tidak baik-baik saja pagi itu. Berbagai isyu yang menimbulkan kecemasan berseliweran di masyarakat. Pasukan TNI dengan peralatan tempur lengkap dari Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur baru saja datang untuk persiapan perayaan hari Angkatan bersenjata, 5 Oktober nanti. Ada yang yang datang dengan menggunakan kereta api dan ada yang datang dengan truk-truk angkut tentara.  Mereka mendirikan tenda dan bermalam di sekitaran Senayan. 
Sesuatu yang besar akan terjadi.

Sementara itu di istana negara dua orang perwira tinggi menunggu waktu untuk bertemu Presiden. Yang lebih muda dan gagah berpangkat Marsekal. Jabatannya adalah Panglima Angkatan Udara. Yang sedikit lebih tua dan berwajah keras berpangkat Brigadir Jenderal TNI. Seorang perwira tinggi dengan jabatan  Panglima Komando tempur di daerah Kalimantan. Beberapa saat sebelumnya, sang Marsekal sudah bertemu Presiden untuk satu pembicaraan yang sangat rahasia. Sekarang ia  datang lagi dengan membawa sang Brigadir Jenderal bersamanya untuk menghadap Presiden. Keduanya tampak gelisah menunggu panggilan dari ajudan untuk masuk. Sesekali mereka melirik jam di tangan. Wajah mereka menyiratkan ketegangan. Ketika Sang ajudan muncul di hadapan mereka dan memberi tanda bahwa Presiden telah menunggu, keduanya pun bergegas masuk.

Pertemuan itu sangat pendek. Mungkin kurang dari 20 menit. Tidak ada yang tahu apa yang sesungguhnya mereka bicarakan dengan Presiden. Tapi begitu keluar dari pintu istana keduanya segera berpisah jalan. Sang Marsekal  naik kendaraan jeep yang menunggu menuju kediamannya di kawasan Blok M, sedangkan Sang Brigadir Jenderal dijemput seorang supir tentara. Mereka kemudian bergerak ke arah Halim.

Kisah di atas adalah kisah yang diceritakan oleh Ajudan Presiden Soekarno, Kolonel Marinir Bambang Widjanarko ketika bersaksi di depan Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) yang menyidangkan para pelaku Gerakan 30 September PKI.  Perwira muda berpangkat Marsekal itu adalah Oemar Dhani dan Perwira Tinggi berpangkat Brigadir Jenderal itu adalah Soepardjo. Keduanya kemudian dituduh terlibat  satu aksi paling kejam dalam sejarah Indonesia, yaitu peristiwa G 30 S PKI. Setelah pertemuan dengan Presiden, Oemar Dhani pulang ke kediamannya  dan kemudian langsung menuju Halim. Disana dia memberi perintah Komando Operasi untuk Angkatan Udara dengan kode sandi operasi ‘Patuh’.  Sedangkan Soepardjo langsung menuju ke Halim menemui teman-temannya yang telah menunggu. Di sana ada komandan Pangkalan Halim Perdana Kusuma Mayor Udara Gatot Sukrisno, Komandan Brigade Infanteri 1 Kodam Jaya, Letnan Kolonel  Infantri Latief, Ketua Biro Central PKI Syam Kamaruzaman, Seorang anggota komite Central PKI bernama Pono dan orang yang ditunjuk menjadi pemimpin gerakan mereka, Komandan Bataliyon Cakrabirawa, Letnan Kolonel Untung.

Apa yang kita tahu kemudian setelah pertemuan pagi itu adalah terjadinya sebuah gerakan pasukan yang terdiri dari pasukan yang datang dari Jawa Tengah dan Jawa Timur, pasukan kawal Presiden Cakrabirawa dengan dibantu oleh pemuda rakyat ( Organisasi Pemuda Komunis) di bawah pimpinan Letnan Kolonel Untung dan Brigjen Soepardjo. Dini hari tanggal 1 Oktober 1965, gerakan ini menculik dan membunuh enam perwira tinggi Angkatan Darat dan satu orang perwira Pertama. Mereka yang menjadi sasaran penculikan merupakan perwira-perwira tinggi Angkatan Darat yang terkenal gigih menentang dominasi komunis di Indonesia. Gerakan ini kita ketahui tidak berumur  panjang. Seorang Perwira berpangkat Mayor Jenderal bernama Soeharto, luput dari perhatian para pelaku aksi. Soeharto dengan kecermatan dan kecepatan yang tidak pernah diperkirakan oleh para pelaku mengorganisir  dan kemudian menggerakkan satuan-satuan TNI yang berada di bawah komandonya. Maka, meskipun sempat menguasai jalur telekomunikasi, Istana Presiden dan bandara, gerakan Untung dan Soeparjo dengan cepat dilumpuhkan. 

Kisah pertemuan kedua orang perwira tinggi yang terlibat gerakan 30 September dengan Presiden pada pagi hari sebelum malam kejadian mengundang tanya yang sulit ditemukan jawabannya. Ada yang menggunakan pertemuan itu sebagai alasan untuk menunjuk keterlibatan Presiden Soekarno, tapi ada juga yang mengatakan bahwa tidak tersedia cukup alasan untuk menuduh presiden terlibat hanya karena ia bertemu dengan pelaku sebelum kejadian. Toh Presiden biasa menerima siapa saja atau memanggil siapa saja yang dia mau. Sejak sepenuhnya kembali menguasai pemerintahan pasca dekrit 5 Juli 1959, Soekarno biasa memanggil seorang petinggi militer yang ia butuhkan atau ingin ia ajak bicara  dengan mengabaikan hierarki dalam tubuh ABRI. Seharusnya pemanggilan seorang perwira dengan pangkat lebih rendah, dikoordinasikan terlebih dahulu dengan atasan mereka. Tapi, Soekarno mungkin memandang bahwa informasi dari tangan pertama itu penting sehingga hal semacam itu menjadi biasa saja. Kasus kehadiran Brigadir Jenderal Soeparjo  di istana dengan meninggalkan posnya di Kalimantan tanpa sepengetahuan Jenderal Ahmad Yani sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat mungkin adalah satu contohnya.

Pada faktanya pertemuan tersebut memang mengundang banyak interpretasi.

Serangan tajam datang dari  Antonie C A Dake (2006). Dake yang telah melakukan penelitian selama bertahun-tahun dengan mewawancarai pelaku di kedua belah pihak yaitu mereka yang terlibat peristiwa dan mereka yang turun memadamkan pemberontakan sampai pada kesimpulan yang cukup membuat panas kuping pengagum Soekarno. Dake berkata bahwa otak dari gerakan ini adalah Soekarno sendiri. Pertemuan pagi 30 September itu adalah salah satu dari rangkaian puzzle yang mendukung kesimpulannya.

Tentu banyak yang tidak sepakat dengan Dake. Dua orang yang paling keras membantah itu adalah dua orang terdekat Soekarno yaitu Mangil Martowidjojo dan Kolonel Maulawi Saelan. Keduanya adalah ajudan Presiden Soekarno yang mengetahui dengan baik hari-hari yang dilewati Presiden terutama di hari menjelang dan setelah terjadinya peristiwa. Tapi, sebagaimana ditulis Dake dalam bukunya, baik Mangil maupun Saelan tidak mempunyai alasan yang cukup meyakinkan untuk membantah apa yang ia sampaikan.  

Argumen Dake sebagian besar memang didasarkan pada keterangan mantan Ajudan Soekarno Bambang Widjanarko dan fakta-fakta di Mahmilub.Jika rujukannya hanya pada fakta persidangan di  Mahmilub apa yang ditulis Dake menjadi sulit terbantahkan. Sebagaimana diuraikan Dake dalam bukunya sikap Soekarno yang progresif dan revolusioner kurang mendapat dukungan dari perwira-perwira tinggi TNI Angkatan Darat, terutama Jenderal Yani dan Jenderal Nasution. TNI AD, melalui mereka berdua sering terlalu kritis pada kebijakan Presiden yang memandang perlu sikap politik yang lebih berani dan  keras terhadap Amerika Serikat, Inggris dan sekutunya, serta memperkuat hubungan dengan RRC yang saat itu menjadi salah satu kekuatan komunis di luar Uni Soviet. Politik konfrontasi dengan  Malaysia dijalankan TNI AD dengan setengah hati, sehingga Oemar Dhani sebagai komandan operasi sering berkeluh kesah kepada Presiden tentang lemahnya dukungan dari TNI AD. Soekarno kemudian marah karena merasa dikhianati lalu berinisiatif  mengganti mereka dengan yang lebih sejalan dengan garis politiknya. 

Sikap pembangkangan  Jenderal Ahmad Yani dan para deputinya  mengemuka ke publik dan menimbulkan polemik ketika dalam salah satu wawancara dengan  media lokal dan asing di bulan Agustus 1965 Jenderal  Ahmad Yani secara berani dan terbuka menyatakan penolakannya terhadap rencana Presiden membentuk Angkatan ke 5. Angkatan yang terdiri dari buruh dan tani yang dipersenjatai. Ini jelas  sebuah peristiwa yang sangat memukul dan menyinggung kewibawaan Presiden.  Soekarno lantas menginginkan supaya pucuk pimpinan TNI diganti dengan yang lebih sehaluan dengannya, Ia telah memanggil deputi 1 Jenderal Yani yaitu Mayor Jenderal Mursyid dan meminta kesediannya untuk jadi pengganti Yani. Jenderal Mursyid, sebagaimana terungkap dalam persidangan Mahmilub telah menyanggupi permintaan Presiden.

Tentu menjadi aneh kalau kemudian untuk mengganti Yani ia harus terlibat dalam gerakan menculik yang bersangkutan. Tapi Dake punya argumen untuk itu. Penggantian Yani tidak bisa dilakukan begitu saja. Akan terjadi gejolak dalam tubuh Angkatan Darat jika pimpinan mereka diganti tanpa alasan yang jelas. Oleh karena itu diperlukan satu langkah yang  agak sedikit kasar. Mereka yang diculik dituduh terlibat dalam satu gerakan bernama gerakan Dewan Jenderal yang bermaksud melakukan kudeta terhadap Presiden. Pada titik ini menurut Dake Presiden membutuhkan peran perwira-perwira progresif dan revolusioner seperti Pranoto, Soepardjo dan Latief untuk menangkap mereka dan menghadapkan mereka kepada presiden. Keterlibatan PKI adalah hal yang sulit diuraikan sepanjang hubungannya dengan Presiden. Soekarno sebagai Presiden dan Aidit sebagai Ketua PKI tidak pernah terlibat pembicaraan apa pun secara pribadi sepanjang bulan Agustus dan September 1965. Setidaknya, tidak tersedia catatan yang cukup untuk menyatakan bahwa keterlibatan PKI dalam persoalan ini adalah atas permintaan Presiden. Dake hanya menunjukkan satu bukti bahwa ada telegram rahasia yang dikirimkan Presiden kepada Aidit dan Nyoto untuk pulang ke tanah air menjelang bulan Agustus 1965. Tapi sekali lagi telegram itu tidak dapat menjelaskan apa-apa mengingat bahwa Aidit juga adalah seorang menteri non departemen  dalam pemerintahan Soekarno dan adalah sangat wajar jika seorang Presiden memanggil menterinya yang sedang dalam perjalanan di luar negeri.

Kemungkinan terbesar PKI masuk melalui kader-kadernya di Angkatan bersenjata yang dalam hal ini diwakili oleh Soeparjo, Latif dan Untung. Kebetulan pula mereka orang yang dipercaya Soekarno sebagai perwira-perwira yang loyal pada kebijakan Presiden. Mereka lah yang mengundang PKI masuk dengan menjalin kontak dengan ketua biro central PKI yaitu Syam Kamaruzaman. Hal yang paling mendekati adalah Soekarno hanya ingin mengganti mereka dan tidak lebih. Peristiwa terbunuhnya Yani dan jenderal-jenderal lainnya lebih karena koordinasi dan rantai komando yang tidak begitu jelas dalam penangkapan yang tergesa-gesa dan bahkan belum dikoordinasikan dengan Presiden. Kehadiran tokoh-tokoh PKI dalam gerakan penangkapan mereka telah membelokkan misi menghadapkan perwira tinggi itu ke Presiden menjadi misi mereka sendiri. Dari merekalah lahir perintah pada Letnan Dul Arif, Gatot Sukrisno dan lainnya untuk bertindak melampaui apa yang seharusnya dilakukan

Kita tidak pernah tahu apa benar demikian adanya atau justru sebaliknya sebagaimana dituduhkan Dake. Hal yang harus menjadi pelajaran dari tragedi ini adalah bahwa pada masa lalu komunis adalah sebuah kekuatan yang tidak pernah ragu melakukan segala cara yang mungkin dilakukan untuk mencapai tujuannya. 

Sejarah mencatat kekejaman mereka di Madiun tahun 1948 dan bagaimana kemudian mereka melakukan banyak kekerasan ketika menjadi partai yang hidup dalam ideologi Nasakom yang diusung Soekarno. Mereka bisa bertindak semaunya karena diberi angin oleh kekuasaan. Tidak ada tindakan tegas dan bahkan malah diberi ruang untuk terus hidup dan mengkonsolidasikan kekuatan. Pada akhirnya mereka menikam dari belakang. Presiden Soekarno mungkin tidak akan pernah membayangkan bahwa kebijakannya untuk menampung semua ideogi yang hidup dalam negara kesatuan Republik Indonesia justru menjadi pintu masuk bagi kehancuran pemerintahannya. 

Tidak hanya itu yang lebih mengerikan adalah apa yang terjadi kemudian setelah peristiwa itu. Ratusan ribu nyawa melayang. Orang-orang dicurigai berideologi komunis dibunuh tanpa pengadilan. Tubuh mereka dibuang begitu saja di hutan, sungai dan jalanan. Puluhan ribu orang meringkuk jadi tahanan politik di pulau yang tak layak dihuni manusia. Dan itu menyisakan luka dendam yang entah kapan sembuhnya. Tidak terbantahkan bahwa trauma akibat kekejaman gerakan 30 September 1965 itu masih membekas sampai pada hari ini. Dan itu pula yang menyebabkan kita terus hidup dalam sikap saling curiga dan prasangka tanpa akhir.***
TNCMedia

Dukung editor dan penulis situsweb ini via Bank Rakyat Indonesia (BRI) No Rek: 701001002365501 atau ke BRI No Rek: - 109801026985507 Kontak: 082113030454

Lebih baru Lebih lama