THEJAKARTAWEEKLY -- Pro dan kontra apakah pelajar boleh atau tidak ikut berunjuk rasa mendapat tanggapan Unicef (United Nations Children’s Fund ) dan Komnas HAM.
Unicef menegaskan bahwa anak-anak dan remaja di Indonesia memiliki hak untuk mengekspresikan diri. Ditegaskan pula, ada aturan khusus dalam sistem peradilan pidana Indonesia ketika mereka terlibat demonstrasi kemudian bersentuhan dengan hukum.
Perwakilan UNICEF di Indonesia Debora Comini merasa prihatin dengan kejadian beberapa hari terakhir. Berdasarkan sejumlah laporan yang diterima, ada anak-anak yang ditangkap dan ditahan selama lebih dari 24 jam. Ia juga menyebut adanya indikasi tindakan represif kepolisian terhadap para pelajar yang ditangkap. Hak-hak anak diduga tidak diperhatikan selama proses penangkapan dan pemeriksaan.
“Kita harus tetap teguh dalam menegakkan dan melindungi hak-hak anak setiap saat. Anak-anak dan remaja di Indonesia memiliki hak untuk mengekspresikan diri dan terlibat dalam dialog tentang masalah yang mempengaruhi mereka. Dan kita harus memastikan mereka mendapat dukungan yang sigap dan tepat jika mereka terlibat dengan hukum,” kata Comini dalam pernyataannya yang dilansir suaramerdeka.id, Selasa (1/10/2019).
Dijelaskan Comini bahwa Konvensi PBB tentang Hak Anak mengakui hak anak untuk kebebasan berserikat dan kebebasan berkumpul secara damai. Hai ini sejalan dengan Konvensi Hak-Hak Anak, Undang-Undang Perlindungan Anak Indonesia menjamin hak setiap anak di Indonesia untuk berbicara dan didengarkan pendapatnya, termasuk dalam masalah politik, serta melindungi mereka dari penyalahgunaan dalam kegiatan politik, dan kerusuhan sosial.
Comini mengingatkan, konvensi PBB tentang Hak Anak adalah perjanjian hak asasi manusia yang paling banyak diratifikasi dalam sejarah. Indonesia sendiri telah menunjukkan komitmen yang kuat terhadap hak-hak anak sejak menjadi penandatangan Konvensi pada 29 tahun yang lalu. Indonesia telah membuat kemajuan besar dalam pemenuhan hak-hak anak dengan reformasi penting. Seperti Undang-Undang Perlindungan Anak (2002) dan Undang-Undang tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (2014). Semua itu dirasa membawa peningkatan perlindungan bagi anak-anak Indonesia.
“Aksi protes ini mengingatkan kita bahwa ada kebutuhan untuk menciptakan peluang yang bermakna (baik online mau pun offline-red) untuk anak-anak dan remaja menyuarakan pandangan mereka dengan bebas dan damai di Indonesia,” tegas Perwakilan Unicef di Indonesia.
Mengingat hal tersebut, Unicef meminta adanya perhatian pada ketentuan khusus untuk anak-anak dalam sistem peradilan pidana Indonesia. termasuk kepada anak-anak yang terlibat demonstrasi bersentuhan dengan hukum. Undang-Undang tentang Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia menetapkan bahwa perampasan kebebasan dan pemenjaraan adalah pilihan terakhir. Penangkapan dan penahanan anak di bawah 18 tahun hanya bisa dilakukan untuk periode maksimum 24 jam.
“Dan setiap anak berhak untuk dipisahkan dari tahanan dewasa. Diberikan bantuan hukum dan asistensi lainnya. Dilindungi dari penyiksaan, hukuman atau perlakuan kejam, dan perlakuan yang merendahkan martabat. Terhindar dari penangkapan, penahanan atau pemenjaraan. Mendapatkan keadilan dari pengadilan remaja yang objektif dan tidak memihak, dan mendapat dukungan dari anggota keluarga,” tutupnya.
Komnas HAM: Boleh
Pendapat senada disampaikan
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menegaskan, pelajar di bawah umur tetap berhak mengikuti aksi unjuk rasa seperti yang terjadi di Jakarta, beberapa waktu terakhir.
Komisioner Komnas HAM Choirul Anam menjelaskan bahwa salah satu kategori anak di bawah umur yaitu remaja. Anak di bawah umur kategori inilah yang diperbolehkan mengikuti unjuk rasa di jalan-jalan.
"Anak-anak juga memiliki hak untuk berkumpul dan menyuarakan pendapat. Jadi anak-anak juga dibagi umurnya, tidak semua anak-anak tidak boleh menyuarakan pendapat, tidak boleh berkumpul," ujar Choirul di Kantor Komnas HAM seperti dikutip Kompas.com, Rabu (2/10/2019).
Seorang remaja, lanjut Choirul, sudah dapat menilai apakah sesuatu berhubungan dengan kepentingan dirinya atau tidak. Atas penilaian itu, seorang remaja juga berhak menyuarakan pendapatnya.
"Kalau mendapatkan anak-anak mengikuti aksi, tidak perlu diproses dan tidak perlu pemrosesannya masuk dalam catatan apakah dia berbuat kriminal atau tidak. Ini lepas dari soal yang lain-lain ya," kata Choirul.
Sementara itu, seperti diberitakan mimbarrakyat.id, Kapolda Sumatera Utara, Irjen Pol Agus Andrianto mengingatkan pelajar agar tidak ikut-ikutan unjuk rasa dengan sanksi tidak diterbitkan
Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) bagi pelajar yang tertangkap.
Hal itu disampaikan Kapolda Sumut, Irjen Pol Agus Andrianto saat ditanya wartawan, Rabu (2/10/2019). Tidak diterbitkannya SKCK bagi para pelajar tersebut sebagai wujud imbauan tegas Polda Sumut agar mereka tidak ikutan berunjukrasa seperti beberapa hari yang lalu.
“Jika masih ada pelajar yang ketangkap ikutan unjukrasa anarkis akan kami catat, dan yang bersangkutan tidak bisa urus SKCK kalau dia nanti sudah tamat sekolah saat akan mengurus syarat lamaran pekerjaan,” ungkap Kapolda Sumut sembari mengingatkan agar para pelajar tidak lagi mau ikut-ikutan dalam aksi demonstrasi. (Oce)