Oleh: Selfi Hastria Ningsih
(Bidang Pengembangan Pelatihan Dan Kurikulum
BPL PB HMI periode 2018-2020)
APA itu training?
Training merupakan suatu proses pembelajaran bagi setiap orang untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Training ini juga merupakan sebuah proses yang dilakukan dalam jangka waktu tertentu dengan sebuah prosedur yang dirancang dan dilaksanakan secara sistematis dan teroganisasi untuk menambah wawasan, pemahaman, keterampilan serta suatu proses transfer ilmu.
Training bisaanya diperuntukkan untuk orang-orang tertentu. Jika kita bawakan ke arah organisasi maka training ini dilakukan untuk memberikan pemahaman, olah kemampuan, transfer nilai untuk mencapai tujuan organisasi, karena keberhasilan sebuah organisasi ditentukan oleh orang-orang yang berada di dalamnya.
Berbicara mengenai training dan organisasi lebih spesifik pada HMI, salah satu kegiatan HMI dalam rangka mencapai tujuannya adalah melalui training formal dan non formal. HMI merupakan sebuah organisasi kader. Kader adalah sekelompok orang yang terorganisasi dan berproses secara terus-menerus dan akan menjadi tulang punggung bagi kelompom yang lebih besar. Artinya training yang dilakukan ini untuk membentuk kader HMI dan penanaman nilai-nilai.
Hal ini sejalan dengan tujuan HMI itu sendiri yaitu ”terbinanya insan akademis pencipta pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah Swt”. Untuk mewujudkan tujuan HMI tersebut, HMI membekali anggotanya dengan berbagai jenis training formal dan non formal yang berada dalam HMI itu sendiri. Training yang merupakan sebuah proses atau progam yang dirancang untuk meningkatkan pengetauan dan keterampilan kader HMI.
Training juga meliputi sebuah proses dalam rangka pengubahan atau pembentukan sikap sehingga kader HMI ini mampu menjalankan tugas dan fungsinya secara lebih efektif.
Faktor keberhasilan training Training dianggap efektif ketika dilandasi dan memiliki pedoman dalam menjalankannya. Salah satu bagian penting dari training itu sendiri adalah kurikulum, pendekatan dan strategi, terstruktur dan proggresif yang sesuai dengan kebutuhan kader dan perkembangan zaman. Misalnya dalam training tentu ada capaian-capaian sesuai dengan jenjang training yang ada.
Misalnya basic training dengan tujuan terbinanya kepribadian muslim yang berkualitas akademis, sadar akan fungsi dan peranannya dalam berorganisasi serta hak dan kewajiban sebagai kader umat dan kader bangsa.
Jika dipecah lagi sebenarnya dalam basic ini lebih mengutamakan kesadaran dari anggota biasa untuk menjalankan hakikatnya sebagai manusia berupa tugas dan tanggung jawab, serta hak dan kewajibannya.
Kemudian intermediate training denga tujuan terbinanya kader HMI yang mempunyai kemampuan intelektual untuk memetakan dan memformulasikan gagasan dalam lingkup organisasi. Kemudian advance training, terbinanya kader pemimpin yang mampu menerjemahkan dan menransformasikan pemikiran konsepsional secara professional dalam gerak perubahan sosial, semuanya itu terdapat dalam bentuk training formal.
Senior course, training of trainer, latihan khusus Kohati, dan training non formal lainnya. Inti dari kesemua training ini adalah sebagai bekal awal bagi kader HMI dalam proses perjuangannya.
Training tentunya berkaitan dengan apa yang dibutuhkan oleh seorang kader serta mengasah kemampuan kader untuk mencapai tujuan dan target yang ada. Kemampuan ini berkaitan dengan kemampuan menguasi sebuah konsep atau kemampuan memiliki pengetahuan yang luas, sikap, nilai serta tingkah laku yang sesuai dengan aspek yang jelas. Dalam hal ini tentunya Islam sebagai acuan utama. Sejatinya nilai-nilai ini telah lama tertanam bagi masyarakat Sumatera Barat, karena Sumatera Barat merupakan sebuah daerah yang sangat peduli dan sadar akan nilai yang berkembang, juga melek terhadap dunia pendidikan.
Sumatera Barat atau yang lebih dikenal dengan Ranah Minang terkenal memiliki sistem pendidikan tradisional pertama, yaitu pendidikan di surau. Yang mana pendidikan di surau ini melahirkan banyak tokoh-tokoh besar seperti Buya Hamka, Muhammad Natsir, dan lainnya.
Artinya sejara sejarah Minangkabau memiliki model pembelajaran atau pendidikan yang mampu menghasilkan tokoh-tokoh besar. Hal ini dapat kita refleksikan kepada HMI selingkup Sumatera Barat untuk melahirkan tokoh-tokoh besar lainnya melalui jenjang training dan proses yang ada di HMI. Jika menelaah lebih jauh, HMI selingkup Badko Sumatera Barat belum memiliki kurikulum training yang mengacu pada satu pedoman yang menggabungkan budaya Minang itu sendiri.
Di mana kita menganut semboyan “adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah”. Sejatinya semboyan ini sejalan dengan tujuan HMI dan tujuan serta target training formal dan non formal yang ada di HMI.
Dari hal ini ada dua poin penting yang dapat kita ambil. Pertama, dalam training HMI selalu mengangkat tema kearifan lokal yang ada di mana kearifan local ini tetap dalam lingkaran Islam sebagai pengikatnya.
Kearifan lokal ini lebih kepada tatanan yang terjadi di masyarakat, budaya yang berkembang di Ranah Minang serta nilai-nilai yang ada dikembangkan dan dilestarikan. Kedua, Ranah Minang terkenal dengan kebudayaan serta agama yang kental, dalam menjalankan kehidupan sehari-hari berpedoman kepada Alquran dan Hadis, baik kegiatan perindividu maupun masyarakat yang ada. Artinya Sumatera Barat ini memiliki dua hal yang juga terangkum dalam tujuan HMI secara umum.
Jika menelisik lebih jauh training formal dan non formal yang ada di HMI khususnya Sumatera Barat belum memiliki suatu pedoman yang seragam atau satu panduan yang sama. Sistematika dalam training formal juga belum dirangkum dalam satu kesatuan sehingga setiap cabang menjalankan kegiatan training berdasarkan pengalaman dan kebisaaan yang dilakukan.
Setiap cabang memiliki panduan masing-masing dalam menjalankan trainingnya. Sejatinya tujuan yang ingin kita capai dengan memasukkan nilai-nilai yang ada di masyarakat karena sejatinya HMI hadir untuk umat dan bangsa lebih baik panduan dalam menjalankan training yang ada di HMI ini menjadi satu komando satu arah dan satu pedoman.
Pedoman atau panduan yang sekiranya telah ada perlu diperbaharui sesuai dengan perkembangan zaman. Hari ini dunia dihebohkan dengan revolusi 4.0 di mana semua kegiatan, semua aktivitas telah menggunakan teknologi digital. Dampak positifnya adalah dunia kini berada dalam genggaman, namun sisi negatifnya banyak juga yang menjadi apatis dan terkena hedonisme.
Sehingga untuk menanggulangi itu sekiranya perlu ada pedoman dan acuan bagi kita di Sumatera Barat dalam hal training. Bagaimana kita menjadikan revolusi 4.0 ini sebaga kebangkitan kita dalam menjalankan roda organisasi sesuai perkembangan zaman dengan memperkuat nilai-nilai yang telah ada.
Untuk mewujudkan tujuan bersama ini tentunya kita harus saling bahu membahu, bak pepatah barek samo dipikua ringan samo dijinjiang. Maksudnya adalah setiap pekerjaan lebih baik dilakukan secara bersama-sama. Sama halnya dengan merancang, merumuskan dan menciptakan sebuah pedoman trainingbadalah kewajiban bersama demi berjalannya proses training yang efektif dan efisien.
Tidak dapat dipungkiri bahwa HMI selingkup Sumatera Barat memiliki kader-kader dan master-master yang memiliki kapasitas yang mumpuni dalam hal training yang ada di HMI. Ketika ide, gagasan dan pemikiran itu disatukan tidak mustahil akan menghasilkan sebuah gagasan dan pandangan dan produk dalam bentuk pedoman training selingkup HMI Sumatera Barat.
Berkaca dari perkembangan HMI kekinian sejatinya telah mengalami kemunduran dalam hal training. Mulai dari belum adanya pedoman training yang mengatur segala bentuk aktifitas training dengan struktur dan terorganisasi, maka saatnya kita kembali menyadarkan diri bahwa hal ini sangat penting untuk dibincangkan.
Demi perbaikan training ke depannnya. Tidak dapat dipungkiri bahwa, sebagai tenaga pendidik dan mendidik di himpunan, kader HMI sejatinya harus keluar dari zona nyaman dengan pola-pola yang sudah menjadi budaya masing-masing cabang. Sehingga hari ini dibutuhkan inovasi yang kritis sesuai dengan kebutuhan daerah dengan kultur masing-masing. Inivasi ini akan memberikan warna baru untuk pentrainingan di HMI sehingga tidak terkesan kaku dan monotn dengan budaya yang telah terbentuk.
Training di HMI merupakan jantungnya organisasi. Ketika proses training ini tidak bisa berjalan sebagaimana mestinya, maka transfer ilmu yang diberikan juga tidak maksimal. Ketika ada sebuah pedoman, hal ini diharapkan mampu menjadi sebuah solusi awal untuk memperbaiki kualitas training yang diberikan, sehingga output yang dihasilkan juga memiliki militansi yang maksimal terhadap himpunan. ***