OBITUARI: Sosok Kang Agus Lenon Yang Tak Mungkin Aku Lupakan




Oleh Jacob Ereste


SECARA fisik perkenalan kami ternyata tidak lebih baik dari perkenalan secara bathin. Toh jauh sebelum Kang Agus Lenon (Agus Edy Santoso)  kujumpa justru pertama kali di forum aktivis Surabaya, dia sudah mengenal namaku dari berbagai media yang merilis tulisan-tulisanku diberbagai media — tak hanya dj Yogyakarta — tempat kami ngejogrok semasa mahasiswa tahun 1980-an. 

Uniknya, justru selama ngejogrok di Yogayakarta Hadiningrat kami tak sekalipun pernah jumpa. Ini agaknya disebabkan habitat bermain kami memang berbeda. Saya lebih cenderung asyik dengan kalangan seniman sedangkan Kang Agus memang serius mengikuti aktivitas kawan-kawan pergerakan, utamanya aktivis mahasiswa. 

Sejak hijrah ke Jakarta tahun 1990, baru kusadari betapa tingginya mobilitas Kang Agus yang sering kujumpa di berbagai forum. Mulai dalam acara diskusi Cides hingga acara diskusi setiap Hari Rabu di Lautze yang dikomando Bang Hariman Siregar. Aku semakin paham betapa luar biasanya Kang Agus karena bisa sedemikian dekat dengan sejumlah tokoh pergerakan sekaliber Bang Rachman Toleng dan Mas Adi Sasono. Apalagi dengan Jumhur Hidayat semasa di Cides.  

Semua itu memang tinggal kenangan. Tapi sungguh sulit untuk dilupakan. Entah bagaimana awalnya, Kamis pekan kemarin, 8 Januari 2020 saya bersama Wan Fikri Thalib punya agenda berjumpa di Poskonya Jatinegara. Sosok Kang Agus menjadi salah satu pembicaraan serius kami. Dari Wan Fikri Thalib ini pula aku tahu Kang Agus masih dirawat di Rumah Sakit Harapan Kita. Ini yang membuat penyesalanku, saat akhir hayatnya aku tak sempat membezuknya. 

Meski toh sejak itu niat sudah aku patrikan di dalam hati. Kabar tentang perawatan kesehatan Kang Agus dari Wan Fikri Thalib sungguh membuat aku cemas. Sebab sekitar dua bulan sebelumnya Kang Agus muncul di Rumah kedaulatan Rakyat Jl. Guntur 49 Menteng, Jakarta Selatan. Fisiknya tampak semakin lemah. Tapi semangatnya terus menyala-nyala. Toh, banyak kawan yang juga ikut mendengar komentarnya saat diskusi yang digagas Nur Lapong itu berlangsung. Komentar Kang Agus tetap tegar mengisyaratkan perlawanan terhadap kesewenang-wenangan harus diteruskan. Jangan pernah kendor, apalagi mundur. 

Aku bersama Wan Fikri dan Yayan Ramlan sempat memuji usaha kedai kopi yang dibuatnya. Kedai itu tak hanya menggambarkan perlawanan hidup, tapi juga etis perjuangan yang gigih dan tidak pernah mengenal kamus menyerah. 

Kenangan yang tidak pernah bisa aku lupakan adalah undangan khusus Kang Agus padaku, untuk datang ke rumah antik dan unik itu, dia bangun secara bertahap di tebing Kampung Betawi kawasan Condet. Ternyata Kang Agus membuat acara dialog non formal bersama nelayan dari  Teluk Jakarta. Aku pun dimandatkan untuk menjadi salah satu pembicara. 

Acara dadakan serupa itu baru kupaham kemudian memang menjadi model pilihan Kang Agus melakukan kegiatan. Dia lebih suka ekspresi spontan, sehingga apa yang hendak dikatakan pun semua menjadi otentik dan original. Apa adanya saja. 

Kisah acara yang mengajak saya secara dadakan ini pun sempat Kang Agus ulang dalam acara diskusi bersama aktivis dan mahasiswa di Venus Coffe Taman Ismail Marzuki Jakarta. Bagaimana mungkin ada sosok seperti Kang Agus yang mempercayakan kepada saya untuk memimpin peserta menyanyikan lagu Indonesia Raya. 

Belakangan baru saya tahu dengan cara itu dia bisa memberi transpor agak lebih besar dari biasanya. “Aku mau kau pulang ke Banten bisa beli oleh-oleh kesukaan anakmu“, kata Kang Agus dengan gaya dan mimik muka yang serius. 

Belakangan baru saya tahu bahwa dengan begitu dia mengaku bisa mempunyai alasan untuk memberi uang transport lebih besar dari biasanya. “Ente kan tinggalnya jauh“, kata Kang Agus sambil menyebut tempat tinggalku di Banten. 

Begitu juga ketika Kang Agus mengaku hendak menerbitkan buku yang baru dengan Penerbitan Teplok yang dikelolanya. Saya diundang khusus untuk diskusi terbatas di Condet. Sambil memetik buah salak di kebun miliknya tak jauh dari rumah tinggalnya yang unik dan antik itu. 

Karena saya diminta bermalam, diskusi informal kami pun berlangsung sampai tengah malam.  Sebab diskusi akan kita lanjutkan lagi besok pagi. Ketika bangun pagi dan mandi di pemandian yang di disain Kang Agus bersuasana alam seperti umumnya di Pulau Bali yang ada di bawah rumah, kami sarapan dengan menu khas Jawa yang paling kami suka semasa mahasiswa dulu. Kopi kental panas pun menyempurnakan cengkerama Kami menjelang siang. 

Saat inilah saya kembali terperangah, di samping boleh mengambil sejumlah buku yang belum saya miliki sesuka hati dari stocknya bukunya luar biasa banyak itu, secara khusus aku pun diberinya Al Qur’anul qarim yang indah dan lengkap dengan terjemahan yang sempurna. “Kau banyak baca ini, ya“, kata Kang Agus seraya memberikan kitab suci itu kepadaku. Momentum ini aku kira terjadi sekitar tahun 2000 – 2002. Kang Agus Lenon sungguh terkesan seperti profil seorang yang selalu tampil sederhana. 

Bagiku dia lebih dari seorang Jurnalis yang tidak peduli untuk dikenal oleh orang banyak. Tapi kesadarannya untuk lebih mengenal banyak orang justru lebih besar. Itu sebabnya ketika kami  berjumpa pertama kali di Surabaya pada Forum yang diselenggarakan Anak-anak Arek Suroboyo -- Kacik dkk'-- yang digagas sejumlah aktivis kota Pahlawan dan sekitarnya itu, dia seperti sudah lebih mengenal tentang diriku. Ini aku yakin, bukan karena aku sudah terkenal di kalangan penulis dan wartawan maupun seniman sejak awal menjadi mahasiswa di Yogyakarta. Tetapi begitulah keistimewaan Kang Agus Lenon. 

Di kampus IAIN Sunan Kalijaga pun — meski aku sering terlibat dalam forum sastranya yang cukup aktif dan terkenal pada tahun 1980-an, toh kami tidak pernah sekali pun berjumpa. Kiprah dan jasa besar Kang Agus pada kalangan aktivis dan kaum pergerakan layak mendapat tempat terhormat. Karena dia selalu mengambil bagian pada posisi penting dalam berbagai event nssional. Karena itu aku sempat secara khusus mengungkap pada Kang Agus ketika aktivis sejati Muchtar Effendi Harahap meninggal, ada gagasan untuk membukukan semua kesan dan pesan dari semua kawan-kawan agar dapat menjadi semacam batu nisan yang abadi untuk dikenang dan menjadi monumen sifatnya. 

Karena itu, sebelum 40 hari peringatan hari wafatnya Kang Agus, ideal sekali jika Bang Hariman Siregar menginisiasi penerbitan buku yang memuat kesan dan pesan kawan-kawan yang cukup banyak memberikan komentarnya. 

Pada akhirnya perlu dikatakan juga sosok  Kang Agus Lenon terbilang orang yang tidak suka tampil di depan dibanding kesukaannya untuk lebih banyak berbuat dan rela berada di belakang. Karena yang penting baginya adalah aksi nyata itu sendiri yang harus membangkitkan kesadaram, pencerahan bahkan kecerdasan. Setidaknya, ketika rilis bela sungkawa ini aku sampaikan secara terbuka lewat media sosial, toh aku merasa tidak perlu meminta dikirim foto wajahnya. Itulah sebabnya foto terakhirnya bersama kawan saat di Rumah Sakit baru aku susulkan kemudian. 

Nama Kang Agus Lenon cukup berkibar, tapi wajahnya tidak banyak diketahui orang. Termasuk sejumlah aktivis di daerah maupun yang juga ada di Jakarta. 

Agaknya, typelogi Tan Malaka terlanjur merasuk dalam dirinya. Dan Kang Agus sendiri seperti aktivis dan kaum pergerakan yang mampu melintas batas. Tak cuma kiri, tapi juga kanan yang tidak pula melupakan  alur tengah, nasionalisme Indonesia. Ia dedengkot HMI yang karib dan akrab dengan kawan-kawan yang sering disebut berada digaris merah. 

Buku yang memuat derap langkah perjuangan sosok aktivis dan kaum pergerakan pantas dan patut dibuat, sebagai simbolika dari batu nisan abadi yang dapat diziarahi setiap waktu. Kecuali itu pustaka tentang aktivis dan kaum pergerakan itu penting dan perlu untuk ikut menjaga nyala api perlawanan  terhadap kebhatilan yang tidak bileh dibiarkan merajalela.***


 Banten-Jakarta 14 Januari 2020



TNCMedia

Dukung editor dan penulis via Bank Rakyat Indonesia (BRI) No Rek: 701001002365501 atau BRI No Rek: - 109801026985507

Lebih baru Lebih lama