Tradisi Tahlil Kaum Aktivis Memancang Batu Nisan Abadi Agus Lenon Tepat 40 Hari Dalam Bentuk Buku



Oleh: Jacob Ereste 


Aku senang batu nisan abadi almarhum Agus Lenon sudah terpancang dalam bentuk buku tepat pada 40 hari mengenang kepergiannya. 

Pemancangan batu nisan keabadian berwujud buku ini merupakan lompatan budaya cara berpikir dan bertindak revolusioner, namun tetap memaknai nilai sakral tahlilan yang tidak bisa diabaikan. Tradisi kalangan aktivis dan kaum pergerakan serupa ini sungguh mengembirakan, bukan saja telah melakukan lompatan bidaya, tetapi juga telah menjawab kekecewaan dari langkah lambat membukukan sosok aktivis dan kaum pergerakan sebelumnya yang telah mendahului bersemayam di sorga. 

 Gagasan menjadikan tradisi tahlil dengan membuat batu nisan untuk sosok aktivis dan kaum pergerakan dalam bentuk buku (baca ; Sosok Kang Agus Yang Tidak Mungkin Aku Lupakan, halaman 163 Yayasan Budaya Guntur, 2020) sudah terjawab. 

Kekecewaan itu ikhwalnya beranjak dari protes terpendam ketika ada pemikiran untuk memakamkan kawan sesama aktivis atau kaum pergerakan di makam super mewah. Pilihan sikap seperti itu jelas bertolak belakang dengan prinsip kesederhanaan secara umum bagi para aktivis dan kaum pergerakan. 

 Budaya tahlil (40 hari) wafatnya seorang sahabat bagi kalangan aktivis dengan menadai terbitnya buku khusus yang mengguratkan kesan semasa almarhum, dapat dipaham sebagai lompatan budaya serta cara berpikir dan bersikap bagi kalangan aktivis dan kaum pergerakan dalam perspektif budaya. Sesederhana apapun kesan itu, essensinya mengekspresikan kesaksian yang jujur, karena memang itulah bagian dari do'a untuk kita yang kelak pun akan menuju ke liang lahat juga. Dan semua orang tak perlu.menyanggah atau pun berkelit, karena saatnya giliran itu pun akan tiba juga.

 Agaknya, demikianlah wujud komitmen yang tidak terucap dari setiap orang yang pernah intens dan karib bersana almarhum. Diam-diam guratan kesan itu terukir dalam 200 lebih halaman buku ini yang ditulis oleh hampir lebih dari seratus penulis dengan kesannya masing-masing. 

Mungkin saja jumlah penulis yang hendak mengguratkan kesannya bisa lebih banyak lagi jika saja Isti Nugroho sebagai pelaksana gagasan mau menyisir sejumlah rekan-rekan almarhum lainnya. Setidaknya kelak andai saja hendak dicetak ulang misalnya pada khaul seratus hari kepergian almarhum, bisa saja lebih dilengkapi lagi biar lebih lengkap dan sempurna. Idealnya memang, kalau pun buku guratan kenangan dari rekan-rekan almarhum ini tidak cukup memadai untuk mengingat guna menjaga nyala api perjuangan yang telah dilakukan agar bisa diteruskan oleh generasi berikutnya, toh kesaksian perlu diberikan untuk seorang kawan yang pernah bersama kita. Setidaknya, Agus Lenon sungguh terkesan seperti profil Tan Malaka yang selalu tampil sederhana dalam imajinasi saya. 

Bagiku pun dia lebih dari seorang Jurnalis yang tidak perduli untuk dikenal oleh orang banyak. Namun terkesan dari kesadarannya sangat sadar untuk lebih mengenal banyak orang. "Itu sebabnya ketika kami  berjumpa pertama di Surabaya pada Forum yang diselenggarakan Anak-anak Arek Suroboyo -- Kacik dkk'-- bersama sejumlah aktivis kota Pahlawan dan sekitarnya itu, dia seperti sudah lebih jauh mengenalku. Keyakinan ini, bukan karena aku sudah malang melintang lewat dunia tulis menulis dan kiprah bersama seniman sejak mahasiswa di Yogyakarta. Agaknya begitulah keistimewaan Agus Lenon memiliki kemampuam merambah ragam lapisan masyarakat (Jacob Ereste, Matapers Indonesia.Com). 

 Kiprah dan jasa besar Kang Agus untuk kalangan aktivis dan kaum pergerakan layak dicatat dan mendapat tempat terhormat. Karena dia selalu mengambil bagian pada posisi penting dalam berbagai event nasional. Atas dasar itu pula aku mengungkap padanya -- ketika sohibku Muchtar Effendi Harahap wafat -- aku curhat pada Agus Lenon agar kesan-kesan indah kawan-kawan aktivis pada almarhum bisa ditulis dan dibukukan. Sebab buku yang mengurai sosok seorang aktivis yang telah wafat akan menjadi batu nisan abadi bagi siapa kelak yang hendak ziarah. 

 Gagasan untuk membukukan sosok Muchtar Effendi Harahap mulanya sudah disambut oleh kawan-kawan di Yogyakarta. Hilman Harun dan kawan-kawan sempat miminta khusus tulisanku yang sudah termuat di berbagai media sehari setelah Muchtar Effendi Harahap meninggal. Sejujurnya aku sempat merasa senang dan terhibur. Minimal dengan cara itu aku merasa tidak terlalu bersalah lantaran tidak dapat hadir saat prosesi pemakaman berlangsung. 

Rasa bersalah semacam itu sudah kualami juga saat Tohap Simanungkalit meninggal. Kawan ini pernah bersama-sama menyelamatkan Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI), karena Muchtar Pakpahan selaku Ketua Umum SBSI ditangkap oleh aparat bersama kawan-kawan aktivis buruh sehubungan dengan peristiwa pemogokan buruh di Medan Sumatra Utara tahun 1994. Aku sedih dan menyesal tidak bisa menghadiri pemakaman Tohap Simanungkalit yang sudah banyak jasanya untuk organisasi buruh maupun teman-teman aktivis buruh, termasuk untuk saya pribadi. 

 Gagasan untuk membukukan semua kesan dan pesan dari semua kawan-kawan almarhum agar dapat menjadi semacam batu nisan yang abadi dan menjadi monumen keabadian ini penting. Jadi buku untuk Agus Lenon ini seperti telah menjadi penawar rasa sedih dan sesal yang pernah terjadi sebelumnya. 

 Sebelum 40 hari peringatan hari wafatnya Agus Lenon, Isti Nugroho, Bang Hariman Siregar bersama Denny JA telah menginisiasi penerbitan buku yang memuat kesan dan pesan kawan-kawan yang cukup banyak dan beragam komentarnya. (40 Hari Peringatan -- tahlil -- Agus Lenon : "Politik dan Persahabatan" Catatan Dari Para Aktivis, 20 Februari 2020). 

 Sebagai seorang penulis, saya menganggap sosok Agus Edi Santoso (Lenon) memang pantas dibukukan kisah hidupnya. Baik sebagai aktivis dan tokoh pergerakan. Sebab semasa hidupnya almarhum telah banyak menerbitjan buku. Jadi sosoknya pun pantas dan patut dibukukan. Bukan cuma karena aktivis dan tokoh pergerakan. Sikap humanis dan sosialis yang mengental dalam dirinya perlu diekspresikan dalam kegembiraan siapa saja untuk melanjutkan jejak langkah yang telah dirintis oleh almarhum. 

 Agus Lenon tidak cuma sekadar mau berbagi uang sesama aktivis dan kaum pergerakan. Agus Lenon juga merupajan satu di antara sedikit orang yang mau memberi buku dalam jumlah yang banyak. Hanya dari Agus Lenon juga aku pernah mendapat buku bacaan yang berklas sebanyak satu dos mei instan. 

Bahkan dia satu-satunya aktivis yang secara khusus memberi saya secara khususnya Kitab Suci Al Qur'an. Dan atas dasar inilah aku yakin Agys Lenon sekarang berada di surga. Sebab setiap kali Alqur'an itu kubaca, pasti ganjaran pahalanya melimpah juga untuk almarhum. Jika tidak salah ingat, Al Qur'anul Karkm itu pun hasil usaha penerbitan yang dikelolanya dengan bekerjasama lembaga di di bekend Bandung. Itu pula sebab di rumah kediamannya di Condet yang belum rampung ketika itu antara tahun 2000 hingga 2002, kitab suci itu cukup banyak seperti buku-buku yang juga diterbitkannya.

 Kesan yang mungkin sangat pribadi ini biarlah kutulis untuk memberi penghormatan dan penggargaan terakhirku bagi Agus Lonon. Sebab hanya dengan begini aku merasa semua hutang piutang kami menjadi lunas. Apalagi ketika sakit dan meninggal aku tidak bisa hadir. Agus Lenon pun sebagai aktivis dan kaum pergerakan telah menunaikan perannya yang maksimal. Boleh jadi semya itu tidak pernah dilakukan oleh kawan aktvis yang lain. Itulah sesungguhnya mengapa kawan serta sahabat sesama aktivis maupun kaum pergerakan merasa Agus Lenon pernah mengisi celah jiwa kita. 

 Jadi inilah wujud nyata yang membahagiakan hatiku dengan terbitnya buku yang menjadi batu nisan abadi yang diukir oleh sejumlah nama yang direkam oleh Isti Nugroho dalam buku "Agus Lebon : Politik dan Persahabatan". Buku ini pun telah dilounching tepat pada peringatan 40 hari wafatnya sahabat dan saudara kita, Agus Lenon. Batu nisan bagi para aktivis dan kaum pergerakan yang telah mendedikasikan segenap perhatiannya bagi republik ini pantas dan patut dibuat, sebagai simbolika dari keinginan ziarah pada setiap waktu. Setidaknya, jejak terang ke medan perjuangan bagi generasi berikutnya tak perlu gamang dan sesat di jalan yang sudah dirintis oleh para genersi sebelumnya. Kecuali itu pustaka tentang aktivis dan kaum pergerakan itu sendiri penting dan perlu untuk ikut menjaga nyala api perlawanan  terhadap kebhatilan yang tidak boleh dibiarkan terus merajalela. Banten 22 Februari 2020


TNCMedia

Dukung editor dan penulis via Bank Rakyat Indonesia (BRI) No Rek: 701001002365501 atau BRI No Rek: - 109801026985507

Lebih baru Lebih lama