MrJazsohanisharma

The Sin Nio, Kisah Pilu Perempuan Veteran Perang Kemerdekaan RI





PEREMPUAN Tionghoa ini adalah pejuang kemerdekaan Indonesia. Ia berasal dari Wonosobo, Jawa Tengah. 

Di zaman revolusi Sin Nio terjun ke kancah pertempuran. Ia ikut bertempur melawan Belanda dan bergabung dalam Kompi 1 Batalion 4 Resimen 18, di bawah komando Sukarno (terakhir berpangkat Brigjend dan pernah menjadi Dubes RI untuk Aljazair). 

Yang istimewa, Sin Nio adalah satu-satunya prajurit perempuan dalam kompi tersebut.

Semasa berjuang, Sin Nio pada awalnya hanya bermodalkan senjata sederhana berupa golok, bambu runcing dan tombak. 

Sampai akhirnya suatu ketika gadis pejuang tersebut berhasil merampas senapan jenis LE dari tentara Belanda.

Dari bagian tempur, kemudian Sin Nio dipindahkan ke bagian perawat atau palang merah. Karena ada kekosongan juru rawat, sementara banyak sekali pejuang yang terluka dan butuh perawatan medis. 

Di bagian kepalangmerahan Sin Nio berhasil melaksanakan semua tugas yang dipercayakan kepadanya dengan baik. Ia telaten dan gesit.

Setelah kemerdekaan dan kondisi negara mulai aman, ia kembali menjalani hidup sebagaimana warga lainnya. Hingga suatu kali srikandi ini memutuskan menikah. Dalam perjalanan hidupnya, Sin Nio diketahui menikah dua kali.  Sayang perkawinan keduanya juga berakhir dengan perceraian.  Dari kedua pernikahan itu ia melahirkan 6 anak.

Sebagai janda dengan 6 anak, tentu hidup Sin Nio sangatlah berat dari sisi keuangan. Ia harus berjuang sendiri menghidupi dan membesarkan keenam anaknya. Hingga suatu hari ia sampai pada kesimpulan, dirinya harus mencari peruntungan ke luat Wonosobo. Hal ini membulatkan tekad keberangkatan dirinya dari Wonosobo ke Jakarta. 

Keputusan ini ia ambil semata-mata karena sulitnya mencari nafkah di Wonosobo. Dan yang tak kalah menyedihkan, sebagai mantan pejuang ternyata ia tak mendapatkan pensiun, yang semestinya adalah haknya sebagai pejuang kemerdekaan. Salah satu tujuan keberangkatannya ke Jakarta adalah untuk mengurus hak pensiunnya. 

Banyak yang menduga Sin Nio tak mendapat hak pensiun karena ia berasal dari etnis Tionghoa. Sehingga pensiunnya dipersulit.

1973, veteran ini sampai di Jakarta dan menumpang tinggal selama sembilan bulan di Markas Besar Legiun Veteran Republik Indonesia di Jalan Gajah Mada.

Karena tak kunjung mendapat titik terang terkait upayanya mendapatkan hak pensiun, ia terpaksa hidup menggelandang di Ibukota. Ia tak punya pilihan. Kenyataan itu sangat menyedihkan bagi seorang pejuang bangsa. Bayangkan, perempuan pejuang berusia sekitar 60 tahun harus hidup menggelandang di kerasnya ibukota. Kehujanan kepanasan tanpa tempat tinggal yang jelas.

Perjuangan panjangnya akhirnya mendapat titik terang. Pada tanggal 29 Juli 1976 The Sin Nio berhasil mendapatkan pengakuan sebagai pejuang yang turut aktif mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Surat Keputusan pengakuan The Sin Nio dikeluarkan oleh Mahkamah Militer Yogyakarta. 

SK ini ditandatangani oleh Kapten CKH Soetikno SH dan Lettu CKH Drs.Soehardjo. Juga sebagai saksi mata ditandatangani oleh Mayor TNI-AD Kadri Sriyono (Kastaf Kodim 0734 Diponegoro dan Dr R.Brotoseno (dokter militer pada Resimen 18 Divisi III Dipinegoro.

Tragisnya, SK tersebut tidak diiringi dengan hak pensiunnya, sehingga Sin Nio tetap hidup sebagai gelandangan. Ia hidup menggelandang di seputaran  pintu air tak jauh dari Masjid Istiqlal Jakarta.

Uang pensiun sebesar Rp28.000  per bulan akhirnya dapat diperoleh beberapa tahun kemudian. Tapi uang sebesar itu tak mampu mencukupi kebutuhan lainnya, sehingga Sin Nio hanya bisa tinggal di gubuk tanah pinggiran rel kereta api milik PJKA.

The Sin Nio bersikeras tak mau pulang lagi ke Wonosobo. Namun demikian, dia tak pernah lupa untuk tetap mengirimkan uang kepada anak cucunya di kampung halaman. 

"Saya tak mau merepotkan anak cucu saya. Biarlah saya hidup sendiri di Jakarta, meski dalam tempat seperti ini!"  

Jiwa pejuang sejati!

Pernah ada janji dari Menteri Perumahan, Cosmas Batubara, bahwa Sin Nio akan diberikan rumah di Perumnas. Tapi janji tinggallah janji.

Bangsa besar adalah bangsa yang menghargai pahlawannya. The Sin Nio telah mempertaruhkan nyawanya di ujung peluru demi tegaknya kemerdekaan Indonesia, tapi apa balasan yang didapatnya?

Tak diketahui, bagaimana kisah akhir kehidupan pejuang bangsa ini, apakah kemudian beliau menghilang begitu saja, atau dia menghindar dari kita bangsa Indonesia, dan berucap, "Saya tidak mau merepotkan bangsa saya, biarlah saya hidup dan mati dalam kesendirian, karena hanya Tuhan yang mampu memeluk dan menghargai gelandangan seperti saya!" (Oce/Ir Azmi)


Tuhan, maafkan kami!
Kita Sebangsa Setanah Air dan Setara

Merdeka!!

Sumber:

Majalah Sarinah, 6 agustus 1984

Museum Pustaka Peranakan Tionghoa
TNCMedia

Dukung editor dan penulis via Bank Rakyat Indonesia (BRI) No Rek: 701001002365501 atau BRI No Rek: - 109801026985507

Lebih baru Lebih lama