Larangan Natal di Dharmasraya dari Sudut Pandang Anak Dharmasraya -->

Larangan Natal di Dharmasraya dari Sudut Pandang Anak Dharmasraya

Redaksi TNCMedia




Oleh: @Arj_Nusantara on Twitter

SAYA mau berbagi soal latar pelarangan perayaan natal oleh tokoh adat dan warga di satu desa di Dharmasraya. Ada perseteruan hukum adat dan hukum negara dalam kasus ini. 

1. Kampung Baru, Nagari Sikabau, Kabupaten Dharmasraya adalah kampung warga transmigrasi tahun 1965. Pemerintah dan tokoh ada membuat kesepakatan dalam program transmigrasi ini. Kesepakatan ini juga dibuat untuk setiap program transmigrasi berikutnya. 

2. Kesepakatan itu adalah; peserta transmigrasi harus beragama Islam; kalau ingin menjual tanah harus ke warga setempat; harus mengaku induk (menjadi bagian salah satu suku di nagari itu); harus mengikuti aturan adat yang berlaku. 

3. Kala itu, nagari masih berdaulat. Wali Nagari adalah bagian dari tokoh adat. Teritorial pemerintahan nagari berdasarkan wilayah ulayat kelompok adat. Ketika negara belum stabil, tatanan sosial diatur oleh aturan adat yang berlaku. 

4. Ketika 1965 (saat G30S PKI bergejolak), pemerintah mengirim warga transmigrasi ke sikabau, dan menerima kesepakatan seperti di point nomor 2 di atas. Dan apa yang diberikan oleh penduduk setempat ketika itu? 

5. Warga trans diberikan lahan secara gratis, rumah dibuatkan, dan dibantu makan 44 KK warga trans tersebut sampai pertaniannya panen. Karena, warga trans itu hanya diantar oleh Pemerintah ke sana, terkesan diabaikan, maka penduduk setempatlah yang mengurus mereka. 

6. Nah, pada tahun 1980 an warga trans tadi ada yang kembali ke Jawa dan menjual lahan ke pendatang baru non muslim. Padahal dalam kesepakatan, jika ingin menjual lahan, harus ke penduduk setempat. Nah mulai ada ritual ibadah saudara-saudara non muslim di sana. 

7. Saat itulah tokoh adat dan warga mulai merasa tidak menerima. Lahan yang mereka berikan lalu dijual ke pendatang baru yang tidak mengikuti kesepakatan di awal. Sampai pada tahun 2000 terjadi pembakaran salah satu rumah warga yang dijadikan tempat ibadah. 

8. Setelah kejadian itu, terdapatlah kesepakatan baru bahwa, warga non muslim dibolehkan beribadah, tapi di rumah masing-masing. Namun, di tahun 2016/2017 mereka beribadah dengan mengundang jemaat dari luar Dharmasraya. Warga setempat tidak bisa terima. 

9. Tahun 2017 terdapat kembali kesepakatan bahwa, tidak boleh lagi ibadah membawa orang dari luar Dharmasraya dan hanya dibolehkan di rumah masing-masing. 

10. Sekarang isu ini mencuat dan menjadi bola panas di media sosial. Di pemberitaan, warga Katolik harus natal ke Sawahlunto (120 Km). Padahal di Dharmasraya ada beberapa titik yang aman perayaan natal, jaraknya hanya 10-20 menit dengan kendaraan, tapi mereka tidak mau. 

11. Umat katolik yg menolak ini hanya 9 KK, sementara 10 KK HKBP dan Pentakosta bersedia ke titik lain yang juga aman perayaan natal, masih di Dharmasraya juga.  

12. Itu sejarah singkat kasus ini. Kenapa Pemda tidak bisa memaksakan agar mereka bisa merayakan natal bersama di Nagari Sikabau? Kalau saya lihat, di Minang itu, adat istiadat masih kental, adat di atas segalanya, sedang adat berlandaskan agama Islam, 

13. Kalau dipaksakan, masyarakat pasti akan memberontak semakin keras. Atas dasar itu, pendekatan budaya adalah yang paling tepat. Perlahan-lahan, tidak bisa buru-buru. Keselamatan jiwa manusia lebih penting dari apapun. Makanya diminta keduabelah pihak saling mengerti. 

14. Secara kehidupan sosial, selama ini warga hidup berdampingan, tidak ada masalah. Sebenarnya, penduduk Dharmasraya sudah terbiasa bercampur sejak program transmigrasi. Buktinya, di Sumatera Barat tidak pernah terjadi konflik antara warga trans (jawa) dengan penduduk lokal. 

15. Banyak daerah lain terjadi konflik antara penduduk lokal dengan warga trans. Di Ranah Minang tidak pernah terjadi konflik. Bahkan, warga trans sukses, bahkan banyak yang menjadi pejabat, di Dharmasraya sendiri sekarang Ketua DPRnya warga eks trans, wakil bupati pertama juga. 

16. Artinya, Dharmasraya sebenarnya sudah selesai soal proses keberagaman budaya, tapi masih perlu bersabar soal agama. Makanya bupati menyampaikan harus ditangani dengan cara yang tepat. 

17. Soal agama, jangankan dengan pemeluk Kristen, orang Minang pernah perang saudara melawan pemeluk Islam yang terkenal dengan Perang Padri (silakan googling). Perangnya terjadi bertahun-tahun. Itu terjadi karena aturan adat di atas segalanya. 

18. Namun, pada akhirnya, tokoh adat berdamai dengan tokoh agama (islam) dan menyatukan adat dan agama, maka lahirlah adat bersendi syara’, syara’ bersendi kitabullaah. Islam akhirnya dilebur dalam adat. 

19. Nah, ketika media memberitakan berita pelarangan natal hanya dengan satu sudut pandang (LSM) atas dasar UUD, tanpa melihat sudut pandang yang lebih jauh, kasus ini semakin rumit. Orang-orang adat makin merasa ditekan, apalagi banyak yang menghina di medsos. 

20. Akibatnya, bisa jadi tempat-tempat yang sudah mulai aman melakukan natal selama ini, jadi tidak aman. Menurut saya, pendekatan HAM bukan satunya-satunya cara mengedukasi warga. Pendekatan budaya adalah cara yg tepat. 

21. Kita hidup di negeri yang berbudaya, tentu pendekatan budaya adalah cara yg tepat.  Hidup di Indonesia tidak bisa egois. Konsep HAM mendidik kita menjadi orang yang egois. *itu menurut saya. 

22. Semoga ke depan, Dahramasraya lebih maju, lebih damai dan setiap warganya mendapat keadilan sebagai warga Negara Indonesia. Dan mari berhenti menggunakan bahasa yang menyudutkan di medsos. Mari kita tanggapi setiap masalah dngan kepala dingin. 

23. Mari kita gunakan medsos untuk memberikan masukan dengan bahasa yang mengena. Ini tugas kita bersama, bukan hanya tugas orang Dharmasraya, bukan hanya tugas pemerintah, tapi kita semua harus memberikan energi positif. Jangan menjadi “kompor”. 

24. Sekian terimakasih, mohon maaf kalau ada kesalahan saya dalam menuliskan ini. Percayalah, Dharmasraya akan lebih baik ke depan, aamiin

25. #dharmasraya