Oleh: Husein Abdullah
Jurnalis
BERUNTUNG karena ada yang menyimpan foto saya saat wawancara dengan pendekar hukum Indonesia Prof Dr Baharuddin Lopa.
Dari potongan rambut, kumis dan mike synthesizer yang saya gunakan wawancara, foto ini mungkin sekitar tahun 1993-1996.
Foto ini kenangan biasa, selain jejak saya pernah wawancara dengan seorang legenda hukum Indonesia. Yang tentunya jadi kebanggaan buat saya sebagai jurnalis tv.
Tapi yang berkesan pengalaman saya bersama Pak Lopa ketika terjadi kerusuhan etnis di Makassar tahun 1997. Lopa ke Makassar sebagai Sekjen Komnas HAM untuk menginvestigasi terjadinya pelanggaran HAM atas peristiwa tersebut.
Pagi hari bersama teman-teman jurnalis di antaranya Dahlan Dahi, saat ini memimpin TribunNews, bergegas ke rumah Baharuddin Lopa, di kawasan BaengBaeng Makassar.
"Assalamu alaikum, Pak."
"Wa'alaikum salam," jawab Lopa dari dalam rumah. "Siapa?"
"Wartawan," Pak."
"Ohh, masuk sini.."
Simpel tidak pakai basa-basi.
Pak Lopa yang memang kami kenal sejak mahasiswa, dengan enteng mengisap rokoknya.
"Kamu merokok?" tanya Lopa.
"Iya Pak. Tapi bukan kretek, Pak," jawab saya.
Lopa hanya tertawa ringan.
"Jadi bagaimana?" tanya Lopa.
'Justeru kami mau bertanya," Pak."
"Apa yang kau mau tanya, sedang kami belum ke lapangan, nanti saja. Sekarang kita jalan, jemput dulu Pak Soegiri dan Ibu Rukmini di hotel Marannu Makassar."
Lalu Pak Lopa berangkat ke hotel menumpang mobil saya bersama tiga orang teman jurnalis.
Di hotel sudah menunggu Agum Gumelar, Pangdam VII Wirabuana, bersama dua anggota Komnas HAM Soegiri dan Ibu Rukmini. Mereka pun bertemu sebelum melakukan investigasi di lokasi kerusuhan.
Tidak lama mereka rapat, hanya hitungan menit mereka pun berkumpul di loby hotel. Para anggota KomnasHAM ini tidak punya protokoler, sehingga persiapannya swakelola.
Karena Pak Lopa masih gurubesar di kampus saya Universitas Hasanuddin, maka sebagai junior saya menawarkan lagi menumpang mobil saya.
"Ayo Prof, naik mobil saya saja, dari pada buang waktu cari kendaraan," kata saya menawarkan.
Ketiganya pun setuju menumpang mobil saya. Pak Lopa duduk di depan, Soegiri dan Ibu Rukmini duduk di tengah sedangkan tiga orang teman saya terpaksa geser ke belakang mobil Kijang yang saya supiri sendiri.
Baru saja saya mau ngegas, Pak Lopa tiba-tiba menahan tangan saya. Tangannya putih bersih, lembut untuk ukuran laki-laki.
"Ehh sebelum jalan, saya mau tanya; berapa sewanya otomu Uceng?"
"Tidak disewa Prof, ini mobil saya sendiri tidak apa-apa, saya antar Prof sekalian saya liputan," kata saya menjawab.
Pak Lopa menukas dalam nada agak tinggi, "Tidak bisa! Saya harus bayar sewa karena kami bertiga memang ada ongkos buat sewa oto. Masing masing 75 ribu per hari."
Saya pun tidak mau kalah, "Tidak Prof. Saya tidak terima uang."
"Kalau begitu," kata Pak Lopa, "Kami turun. Tidak mau naik oto ini. Pak Soegiri, Ibu Rukmini, ayo kita turun. Kalau tidak nanti pertanggungjawabannya susah," kata Pak Lopa.
"Ya sudah tidak apa-apa, Pak," ujar saya mengalah. Mereka pun bertiga turun dari mobil saya.
Selanjutnya kami bantu orang-orang tua terhormat itu menyewa sendiri mobil hotel. Ketiganya patungan membayar mobil Mitsubishi Colt untuk keperluan operasional investigasi.
Dari sini saya belajar dan memetik hikmah. Sudah lama saya mendengar cerita tentang kejujuran soerang Baharuddin Lopa. Ternyata Allah Swt memberikan saya pelajaran langsung dari orangnya. Sepenggal pengalaman penting yang menggambarkan kejujuran seorang Lopa. Ia lebih memilih turun dari mobil ketimbang menumpang cuma-cuma dan tidak bisa mempertanggungjawabkan dana transportasinya.
Ketika Baharuddin Lopa meninggal, saya teringat peristiwa ini. Hari itu terasa dingin, awan mendung mengiringi kepergian Pak Lopa. Al Fatihah untuk almarhum Prof. Baharuddin Lopa. (*)
Husain Abdullah
Jurnalis, Dosen di Universitas Hasanuddin.