Membongkar Carut Marut Program Pelatihan Prakerja 5,6 Triliun -->

Membongkar Carut Marut Program Pelatihan Prakerja 5,6 Triliun

Redaksi TNCMedia



Oleh Agustinus Edy Kristianto

RIAU MAGAZINE -- Sebelum mulai, saya tanggapi dulu kesan yang disampaikan beberapa orang bahwa saya mendegradasi profesi coach/trainer dan lembaga pelatihan melalui tulisan-tulisan saya. Saya seolah menjadikan mereka bahan olok-olok. Sama sekali tidak. Saya hormat kepada mereka semua, di mana saja berada. Itu adalah profesi mulia. Apa yang harus saya siniskan dari sebuah pekerjaan yang membuat orang jadi lebih baik dan meningkat kompetensi dirinya?

Saya respons juga tudingan bahwa saya pendukung lawan pemerintah sejak pilpres. Tulisan saya bermotif politik untuk merusak pemerintahan. Tidak benar. Saya tidak pernah peduli dukung-mendukung orang. Benar adalah benar. Salah adalah salah. Prinsip saya, siapa pun yang menang dalam pemilu pasti jadi pemerintah. Saya sekepala dengan John Lennon, masalah utama pemerintah adalah kalau dia tidak mewakili rakyat tapi justru membelenggu—termasuk belenggu nalar.

Masyarakat dibuat bernegara dalam keadaan pingsan. Orang pingsan itu hidup dalam tidak sadarnya. Caranya siuman bukan dengan membelai pipi melainkan harus ditampar.

Program Kartu Prakerja menampar kita semua. Kita harus siuman segera. Akal sehat tak patut dihinakan. 200 ribu saudara kita yang mayoritas sedang babak belur akibat PHK sudah terpilih sebagai peserta Gelombang I (1,8 juta lainnya sedang antre untuk gelombang selanjutnya). Mereka adalah ‘martir’ yang dijadikan kunci pencairan dana proyek pembelian video pelatihan secara massal oleh negara berbungkus nomenklatur ‘bantuan biaya pelatihan' berbiaya Rp5,6 triliun dari APBN.

Banyak hal yang tidak kita lihat, selagi kita pingsan berjamaah, seperti berikut ini:

1. Pembagian dasar. Rp5,6 triliun dibagi 2.000 video (per hari ini menurut Menko Perekonomian) adalah Rp2,8 miliar/video (belum dipotong komisi jasa buat platform digital yang tak seorang pun tahu berapa persennya karena hanya diketahui para pihak yang memegang perjanjiannya) Itu harga satuannya. Pemerintah akan menambah jumlah video itu dan melakukan pelatihan offline jika korona lenyap.

Artinya, jika bertambah 3 kali lipat saja sampai tahun anggaran 2020 berakhir, berarti akan ada 6.000 video/pelatihan. Rp5,6 triliun dibagi 6.000 adalah Rp933 juta. Proyek ini tanpa tender sehingga tidak ada harga pembanding. Tapi segenap rakyat Indonesia bisa melihat sendiri di website 8 platform digital masing-masing (saya tangkap layarkan salah satunya) mengenai jenis dan kualitas videonya. Silakan ditaksir, video macam apa yang per unitnya berbiaya sampai ratusan juta-miliaran itu. Video tutorial ‘Rock Discipline’ bikinan John Petrucci berdurasi 1 jam saja saya rasa tidak semahal itu produksinya.




2. Negara membayarkan Rp5,6 triliun untuk membeli sesuatu yang tidak unik karena video dengan materi sejenis banyak tersedia bebas di platfrom gratis seperti Youtube. Apalagi, video pelatihan yang dijual di platform digital itu ternyata bisa di-download menggunakan IDM dan orang bisa membagikannya. Sudah ada yang melakukannya. Ini namanya megaproyek menggarami laut.

3. Rp5,6 triliun itu bisa dibayarkan bahkan sebelum pelatihan dilakukan, hanya dengan syarat pihak platform digital membuat SURAT PERNYATAAN KESANGGUPAN. Jika ternyata pelatihan tidak dilaksanakan, platform digital mentransfer balik ke kas negara. Itu semua diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan 25/PMK.05/2020 tentang Tata Cara Pengalokasian, Penganggaran, Pencairan, dan Pertanggungjawaban Dana Kartu Prakerja.

Saya kira pedagang abu gosok keliling saja tidak akan melakukan hal seperti itu dalam manajemen keuangannya.

4. Ternyata kurang akurat kalau kita menganggap insentif pasca-pelatihan sebesar Rp600 ribu/bulan (bahasa aturannya adalah insentif mencari kerja) diberikan setelah kita selesai menonton video. Ada tiga syarat uang Rp600 ribu itu bisa cair, yakni mengikuti pelatihan, memberikan ulasan, dan memberikan penilaian. Semacam memberikan rating di marketplace pada umumnya.

Sekilas terlihat baik dan sederhana. Apa susahnya memberikan rating. Tapi, ingat, ini dunia digital. Big data adalah kunci bisnis. Online Rating Review adalah senjata untuk basis data perilaku konsumen yang bisa digunakan untuk menguasai pasar. Istilahnya adalah Electronic Word of Mouth (e-WOM). Platform digital dan provider jasa akan mendapatkan keuntungan dengan rating tersebut mulai dari kredibilitas/reputasi dalam mesin pencari hingga meningkatkan kepercayaan konsumen terhadap produk/jasa. Para pelaku pemasaran digital mengetahui seluk-beluk permainan ini tentunya.

Intinya, tak hanya mendapatkan keuntungan berupa komisi jasa untuk platform digital dan penjualan video oleh lembaga penyedia pelatihan, mereka juga mendapatkan data dan kredibilitas yang akan sangat berguna untuk bisnis mereka selanjutnya. Itulah mengapa pasal tentang kewajiban memberikan rating ini sampai perlu diatur dalam peraturan menteri.

Secara psikologis, orang akan cenderung memberikan rating positif, karena uang akan cair setelah peserta memberikan rating. ‘Cerdas’ sekali konseptornya. Sementara dalam pemberitaan bahasanya adalah rating diberikan sebagai masukan untuk perbaikan ke depan platform digital dan lembaga pelatihan. Ini bahasa ramuan tim Public Relation.

5. Pelatihan diprioritaskan untuk para korban PHK. Setelah terpilih sebagai penerima, mereka memiliki waktu 30 hari untuk memilih dan mengikuti pelatihan. Jika lewat, tidak bisa digunakan dan dana masuk kas negara.

Terlihat mulia dan memihak korban. Tapi ingat urutannya. Untuk mendapatkan Rp600 ribu, mereka harus mengikuti pelatihan dengan cara membeli video di platform digital dengan saldo Rp1 juta. Orang yang babak belur karena PHK akan cenderung menginginkan dana Rp600 ribu itu untuk menyambung nyawa. Dan untuk memperoleh itu, mereka harus membayarkan dulu Rp1 juta ke orang lain. Ini namanya memancing uang dengan uang. Mereka akan sesegara mungkin membeli video agar segera pula mendapatkan Rp600 ribu. Persoalan video itu juga bermanfaat adalah soal lain dan itu relatif. Cuma konstruksi urutannya itu sangat tendensius dan tricky.

6. Pembayaran video pelatihan dilakukan oleh peserta sendiri langsung kepada lembaga pelatihan melalui platform digital. Anggapan itu kurang tepat. Pembayaran dilakukan dengan memindahbukukan dari Rekening Dana Prakerja pemerintah di bank umum yang ditunjuk kepada rekening platform digital. Peserta hanya memiliki rekening virtual untuk mengidentifikasi sesuai penomoran kartu prakerja, yang diaktifkan dengan memasukkan 16 nomor unik ketika check out/pembayaran. Bahasa kasarnya: pinjam nomor. Numpang lewat.

Jenis dan teknis pelatihan bukanlah urusan platform digital. Sebab sudah diatur, mau pelatihan online/offline, di darat, laut, maupun udara, pembayarannya lewat platform digital dan hanya platform digital yang melakukan pembayaran ke lembaga pelatihan. Cocok dengan model bisnis mereka yang mendorong transaksi sebanyak-banyaknya.

7. Keliru dan sesat kalau dibilang program ini sekaligus membantu kemajuan karya anak bangsa. Pemindahbukuan pembayaran dari rekening pemerintah ke rekening platform digital Ruang Guru (contohnya) akan masuk ke dalam pembukuan perusahaan (PT Ruang Raya Indonesia), yang mana pengendalian saham perusahaan itu dipegang oleh sebuah PERUSAHAAN CANGKANG bernama Ruangguru PTE. LTD yang berdomisili di 6 Battery Road #38-04 Singapore 049909, yang modal dasarnya Rp649 miliar. Pemegang saham perusahaan itu hanya dua: Ruangguru PTE. LTD (6.4904.309 lembar senilai Rp649.430.900.000) dan ‘anak bangsa’ Muhamad Iman Usman (100 lembar senilai Rp10.000.000).

Top investors Ruang Guru sebagian besar perusahaan asing di Amerika Serikat, Jepang, Inggris, dan Singapura. Hanya Venturra Capital milik Grup Lippo yang berkedudukan di Jakarta.



Luar biasa. Sutradaranya sangat handal. Padahal duit triliunan sangat berlebih untuk membuat platform yang semacam Ruang Guru sebanyak 100 ribu biji bahkan lebih. Banyak developer Indonesia yang jago bikin begitu.

Tak hanya potensi dugaan penyimpangan keuangan negara, pelanggaran etika pejabat, ketidakadilan bagi para korban PHK yang tengah babak belur dan ‘dimanfaatkan’ sebagai trigger untuk pencairan dana negara kepada perusahaan, tapi semua ini telah menghina AKAL SEHAT.

Semua permainan ini bisa dihentikan, setidaknya dengan dua cara berikut:

Skenario maksimal: presiden mencabut Perpres Prakerja, menghentikan sementara, dievaluasi, dan dicari formulasi yang lebih baik dan adil.

Skenario minimal: Menko 



Perekonomian dan Menkeu mengubah teknis pelatihan dan pembayaran dengan menggunakan logika terbalik: Insentif Rp600 ribu diberikan langsung terlebih dahulu, kemudian mengikuti pelatihan dengan memberikan OPSI boleh online, boleh offline setelah aman dari korona; boleh melalui lembaga pelatihan mana saja tidak harus yang ada di 8 platform digital; direkomendasikan untuk mengikuti lewat lembaga pemerintah (BLK, Diklat, dsb).

====

Tambahan, karena ada pertanyaan dari banyak teman. Apakah Rp600 ribu bisa dicairkan?

Dicairkan dalam kepala saya adalah bisa dipegang secara tunai. Tapi Rp600 ribu/bulan adalah SALDO NONTUNAI (begitu istilah dalam aturan). Tersimpan dalam e-Wallet (Gopay, OVO, dll). Bisa ditransfer ke rekening bank peserta. Nanti diambil di ATM, misalnya.

Tapi caranya 'unik'. Begitu yang saya lihat dari salah satunya. Kita diminta meng-upgrade aplikasi terlebih dulu, kemudian bisa melakukan transfer ke rekening bank. Ada biaya administrasi Rp2.500 per penarikan. Jika 1 juta peserta menarik dari situ, pemasukan Rp2,5 miliar buat mereka.

Luar biasa. Semua sisi dieksploitasi. Handuk kering pun masih bisa diperas.






Sumber: Agustinus Edy Kristianto