MrJazsohanisharma

ISRI: Tinjau Kembali Pengaturan Flight Information Region Singapura - Jakarta



THEJAKARTAWEEKLY -  Isu Flight Information Region (FIR) telah dibahas kembali dalam pertemuan antara Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong  di The Istana, Singapura, Selasa (8/10/2019). 

Ketua DPW Ikatan Sarjana Rakyat Indonesia (ISRI) DKI Jakarta, Subandi Parto SH MH MBA mengapresiasi langkah yang terus dilakukan Pemerintah Jokowi dari Instruksi Presiden pada 18 September 2015 hingga target selesainya akhir 2019, ini melengkapi sejarah perjalanan bangsa dan negara kita dari ambil alih Freeport, Petral dan sekarang ini FIR. 

Subandi Parto dalam Diskusi Tematik bulanan ISRI yang bertemakan FIR, Sabtu (26/10/2019) di Cikini, Jakarta mengatakan,  dari tahun 1946 sampai saat ini hampir 73 tahun persoalan FIR belum selesai.

"FIR bukan hanya persoalan informasi penerbangan, karena Konvensi Chicago 1944 menyatakan bahwa kedaulatan negara di udara adalah komplit dan eksklusif  atau mutlak tertinggi, penuh dan utuh, holistik dan tidak terintervensi," sebutnya. 

Selama ini, kata Subandi, pesawat yang akan terbang harus melapor ke Singapura. Apalagi bila pesawat tempur Singapura bila sedang mengadakan latihan, pesawat Indonesia yang melalui FIR Singapura tidak bisa terbang, 

"Ini menunjukkan kedaulatan udara kita tidak penuh karena persoalan FIR Singapura," kecamnya. 

Kawasan udara kedaulatan Indonesia yang strategis selama 73 tahun lebih di kontrol oleh FIR Singapura.  FIR yang dikelola Singapura ada 3 yaitu Sektor A, B dan C akan tetapi Indonesia hanya mendapatkan fee RAN hanya pada sektor A saja sebesar 5 juta US$ pertahun. Ini pun baru dimulai 2009 dan nilainya sangat jauh bila dibandingkan dengan FIR Australia. 

"Namun sektor B dan C tidak ada fee padahal pesawat yang lewat sangat padat terutama yang lewat dari utara ke selatan sampai Australia," ujarnya. 

Subandi Parto mengatakan secara kajian yuridis memang ada kejanggalan terkait perjanjian Singapura dan Indonesia tertanggal 21 September 1995. Antara lain, pemerintah meratifikasi perjanjian tersebut melalui Kepres No. 7/1996 padahal perjanjian tersebut belum ada pengesahan dari ICAO dan perjanjian tidak ada batas waktu sehingga. 

Dalam simpulannya,  Subandi Parto mengatakan, yang harus dilakukan pertama, re-aligment atau pengaturan Kembali FIR Singapura ke FIR Jakarta dengan mencabut Keppres No. 7 Tahun 1996 tentang Ratifikasi Perjanjian Bilateral antara Singapura dan Malaysia karena bertentangan dengan UU 43/2008 tentang Wilayah Negara, UU 17/85 tentang Ratifikasi UNCLOS, Pasal 6 UU1/2009 yang mana wilayah udara adalah kekayaan nasional yang harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat, bangsa dan negara.

Kedua,  dibentuknya Undang-Undang Kedaulatan Negara. Ketiga, pemerintah membentuk tim dengan Kemenlu sebagai leading sector beserta Kemenhan, Kemenhub, TNI AU, PT Airnav dan stakeholder yang menguasai persoalan ini. (Oce)

Laporan Cahyo Gani Saputro
TNCMedia

Dukung editor dan penulis situsweb ini via Bank Rakyat Indonesia (BRI) No Rek: 701001002365501 atau ke BRI No Rek: - 109801026985507 Kontak: 082113030454

Lebih baru Lebih lama